Seperti biasa warung kami ingin melihat dari jendela yang lain, yakni melalui buku-buku yang terbit terkait dengan peristiwa ini.
Pemicu hadirnya bahasan “Lapindo Dalam Buku”, setelah warung membaca secara sepintas buku berjudul “10 Dosa SBY-JK”. Buku buah kreasi anak muda kelahiran NTT, Boni Hargens. Buku yang merupakan catatan penderitaan rakyat ini, menuangkan beberapa realitas social dan politik yang terjadi di Tanah Air, namun terkotak ke ranah pola perilaku SBY-JK ketika menahkodai republik ini. Dalam buku tersebut diurai hal yang terkait dengan bencana Lumpur Lapindo, tepatnya pada halaman 45-47.
……..Kunjungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke Sidoarjo menyisakan cerita menarik ketika beliau dan rombongan berhenti di kilometer 38 untuk bersujud dalam doa. Tepatnya ketika beliau melakukan kunjungan ke Sidoarjo, Jawa Timur. Tepat di kilometer 38 tol Gempol, yang sebelumnya terendam Lumpur, Presiden Berdoa memohon bantuan Ilahi.
Menteri Agama Maftuh Basyuni memimpin doa itu disaksikan juga oleh para Wartawan yang mengiringi perjalanan rombongan Presiden. Selain itu, sejumlah menteri yang ikut serta, antara lain Menko Kesra Aburizal Bakrie, Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah, Menkes Siti Fadhilah Supari, Mentan Anton Apriantono, dan Menteri PU Djoko Kirmanto. Ada juga Gubernur Jatim Iman Utomo, Bupati Sidoardjo Win Hindarso, Sekab Sudi Silalahi, dan sejumlah staf khususnya.
Sebagai orang beragama, kita patut bangga dengan tindakan Presiden. Ia begitu berpasrah pada Ilahi. Suatu sikap umat yang patut diteladani. Apalagi kalau dimaknai dalam konteks bulan suci Ramadhan. Namun apakah itu artinya bencana ini dari Tuhan? Persis di titik ini sikap saleh sang Presiden patut kita cermati. Berdoa itu perlu, tapi tidak setiap bencana datang dari Tuhan. Apalagi tragedi lumpur itu murni kesalahan manusia.
Kalimat, apalagi tragedi lumpur itu murni kesalahan manusia“, mengantarkan warung kami untuk mengkais-kais buku yang memiliki keterkaitan dengan lumpur. Sekitas 5 buku yang sempat dikumpulkan warung. Buku itu antara lain:
- Lapindogate [Skandal Industri Migas], karangan Wahyudin Munawir
Memahami Bencana Gunung Lumpur [Kasus Lumpur Panas Lapindo] penulis Amien Widodo - Banjir Lumpur Banjir Janji [Gugatan Masyarakat Dalam Kasus Lapindo] Kumpulan tulisan yang dieditori oleh Aloysius Soni BL de Rosari dengan Epilog Emha Ainun Nadjib
- Bernafas Dalam Lumpur Lapindo penulis Muhammad Mirdasy. SiP
- Konspirasi Dibalik Lumpur Lapindo [Dari Aktor Hingga Startegi Kotor] Penulis Ali Azhar Akbar.
- Memahami Bencana Gunung Lumpur [Kasus Lumpu Panas Sidoarjo] Amien Widodo
MEMAHAMI BENCANA GUNUNG LUMPUR [KASUS LUMPUR PANAS SIDAORJO]
JUDUL : Memahami Bencana Gunung Lumpur [Kasus Lumpur Panas Sidaorjo]
PENGARANG : Amien Widodo
PENERBIT : ITS Press Surabaya.
CETAKAN : Agustus 2007
ISBN : 978-979-8897-19-2
JUMLAH HALAMAN: viii+103 hlm; 13x20,5 cm
[Buku ini membeberkan asal muasal dari Gunung Lumpur. Diawali dari sejarah Geologi cekungan Jawa Timur Utara untuk melihat bagaimana mekanisme terjadinya lumpur panas ini. Menurut Van Bemmelen tahun 1949, sejarah geologi daerah ini dimulai jutaan tahun lalu. Jatim terbagi menjadi tiga bagian, yaitu bagian selatan [gunung api aktif], tengah [cekengun laut transgresi], dan utara [pegunungan]. Di Bagian tengah terjadi pembentukan terumbu karangan [reef] dan pengendapan sedimen yang bersumber dari utara. Bersamaan dengan itu terjadi aktivitas tektonik dan ledakan gunung api yang cukup besar berlangsung terus menerus. Karena sifat ledakan gunung api mendadak dan besar, endapan sedimen di laut tertutup oleh endapan hasil ledakan ini, dan tidak sempat mengalami pemadatan [masih asli berupa lumpur, air dan bahan organik). Bahan organik yang ikut bersama selama pengendapan. Minyak dan gas bumi berasal dari bahan organik [fosil] dari plakton maupun tumbuhan yang mengalami proses pematangan sebagai akibat dari pembebanan/tekanan dan temperatur dalam kurun waktu yang lama, sehingga unsur-unsur karbon dan hidrogen terpisah membentuk senyawa baru berupa hidrokarbon. Oleh karena berat jenisnya, hidrokarbon [minyak dan gas] didesak oleh air menuju ke atas terperangkap. Inilah yang merupakan potensi. [halaman: 22]
Ternyata blow out atau semburan liar tidak hanya terjadi di Porong namun juga pernah terjadi di Cepu, Bojonegoro, laut Jawa, dan lainnya.
Buku ini juga memperingatakan bagi pengusaha migas, untuk selalu memasang ”casing” di kedalaman berapapun.
Gunung lumpur Sidoarjo, ternyata memiliki perbedaan dengan berbagai gunung lumpur yang ada di dunia, karenanya memiliki karakter tingginya temperatur, sehingga banyak yang berpendapat bahwa gunung lumpur ini terbentuk karena kombinasi antara aktivitas gunung api [hidrothermal] dan cekungan minyak dan gas bumi. [hlm: 26]
Peringatan pada masyarakat dituturkan oleh buku ini, antara lain :
Untuk kewaspadaan masyarakat di sekitar pusat semburan maka diharapkan segera mengamati kondisi sekeliling berkaitan dengan tanda-tanda amblesan seperti:
adanya retakan memanjang yang memotong jalan dan lantai rumah dengan arah melingkari semburan
adanya pembalikan arah saluran air
adanya genangan air yang tidak bisa surut yang tidak bisa surut.
Selanjutnya buku ini juga mengadopsi Program Lingkungan perserikatan Bangsa-Bangsa [UNEP] yang telah dikembangkan menjadi APELL [Awarenes and Preparedness for Emergency at Lokal Level] atau kepedulian dan kesiap-siagaan saat darurat di tingkat lokal [Hlm: 55].
Prinsip dasar APELL ini antara lain:
Kesadaran, kepedulian dari masyarakat Industri/usahawan dan pemerintah daerah maupun pusat.
Meningkatkan kesiap-siagaan penanggulangan bencana melibatkan seluruh masyarakat, bersama industri dan pemerintahan lokal bila terjadi keadaan darurat akibat kecelakaan atau bencana industri yang mengancam lingkungan]
LAPINDO GATE [SKANDAL INDUSTRI MIGAS]
JUDUL : Lapindo Gate [Skandal Industri Migas]
PENGARANG : Wahyudin Munawir
PENERBIT : Progressio [Group Syamil]. Jl. Babakan Sari I No. 71 Kiara Condong Bandung 40283 Telp. 9022)7208298 (hunting).
CETAKAN : Mei 2007
ISBN : 978-979-8897-19-2
JUMLAH HALAMAN: xxiv+194 hlm
[Buku ini mengajarkan para pembacanya untuk mengkaji sikap pemerintah, utamanya terkait dengan Kepres [Keputusan Presiden] dan Perpres [Peraturan presiden].
Berdasarkan Kepres nomor 13 Tahun 2006 diktum keenam, biaya yang diperlukan bagi pelaksanaan tugas Timnas dibebankan PT Lapindo Brantas. Sedangkan Perpres Nomor 14 Tahun 2007 Pasal 14 ayai 1 disebutkan biaya adminstrasi BPLS [Pengganti Timnas] didanai dari APBN. Yang menarik adalah bunyi Perpres 14 pasal dan Pasal 15, ayat 3; Biaya masalah sosial kemasyarakatan di luar peta area terdampak tanggal 22 Maret 2007, setelah ditanda tangani Perpres ini, dibebankan pada APBN. Lebih jauh lagi, Pasal 15 ayat 6 menyatakan biaya untuk upaya penanganan masalah infrastruktur termasuk infrastruktur untuk penanganan luapan lumpur Sidoarjo dibebankan APBN dan sumber dana lainnya.
Jika kita baca berulang-ulang dari Kepres ke Perpres soal lumpur Lapindo, maka ada kesan di sana terdapat invisible hand yang mengatur pembuatan Kepres dan Perpres untuk melepaskan tanggung jawab Lapindo.
BEDANYA BHOPAL DAN LAPINDO:
[Kasus Bhopal]
Untuk membandingkan sejauh mana tanggung jawab sosial perusahaan terhadap masyarakat dan negara akibat kelalaian yang dibuatnya, kita bisa melihat kasus Bhopal. Sebuah Pabrik pestisida milik Union Carbide [UC], USA. Di Bhopal, India Tahun 1984 meledak. Gas racunnya menyebar ke mana-mana sehingga menewaskan dua ribu orang lebih. Apa yang dilakukan UC segera setelah kecelakaan itu, memberikan kompensasi awal sebesar 7 juta dolar AS. Lalu karyawan UC urunan dan terkumpul 120.000 dolar. Semuanya disumbangkan kepada korban. UC juga memberi 10 juta dolar kepada pemerintah untuk membangun rumah sakit.
Tidak hanya sampai disitu. UC memberikan tawaran ganti rugi kepada para korban baik yang tewas, yang cacad, yang kehilangan orang tua, yang menjadi yatim, dan lainnya sebesars 350 juta dolar. Beberapa tahun kemudian UC masih memberikan kompensasi untuk kemanusiaan sebesar 4,6 juta dolar. Akhirnya setelah UC diproses pengadilan, perusahaan kimia asal AS ini harus membayar 470 juta dolar AS, setra dengan 4,2 trilyun.
[Kaus Lapindo ]
Pihak PT Lapindo hanya memberikan kompensasi sekitar 300 ribu rupiah perbulan pada warga masyarakat yang menjadi korban dan dirugikan [rumahnya terendam lumpur dan tidak bisa bekerja lagi]. Itu pun tidak semua korban mendapatkan dana kompensasi terbukti jumlahnya korban yang mendapat dana kompensasi tidak sampai separuhnya. PT Lapindo rencananya hanya akan mengeluarkan sekitar 25 juta dolar AS [220 milyar] untuk kompensasi kepada semua korban.
Buku ini juga mengungkapkan bahwa, saat ini kepedulian masalah-masalah sosial kemanusiaan sedang menjadi trend pada korporasi-korporasi di Barat. Di Perusahaan –perusahaan multinasional seperti Unilever dan Mc Donald, misalnya, Corporate Social Responsiblity [CSR] sudah menjadi bagian dari sistem manajemen. Baik buruknya sebuah perusahaan di negara-negara maju salah satu tolok ukurnya adalah sejauh mana perusahaan itu terlibat dalam menegakkan CRS. [halaman: 61]
BERNAFAS DALAM LUMPUR LAPINDO
JUDUL : Bernafas Dalam Lumpur Lapindo
PENGARANG : Muhammad Mirdasy, S,Ip
PENERBIT : Mirdasy Institute For Public Policy [MIPP] kerja sama dengan Harian Surya.
CETAKAN : I Mei 2007
ISBN : 978-3565-21-7
JUMLAH HALAMAN: 200 hlm
[Penulis buku ini menuturkan alasannya, mengapa menulis buku. Ada tiga alasan; antara lain:
Pertama ”Gelisah”: karena sampai dengan satu tahun belum muncul satupun buku yang membahas fenomena lumpur Lapindo di Sidoarjo ini, pada hal data berserak di banyak tempat, tulisan bertebaran di banyak sudut.
Gemas: sebab betapa fenomena lupur Lapindo ini adalah khas, bukan saja dari sisi jenis ragedinya, penanganan pengungsi, proses pemulihan yang tak kunjung ada kepastian kapan berakhirnya semburan lumpur, tuntutan warga dan tarik ulur tawar-menawar ganti rugi, teknologi dan aneka puluhan bahkan ratusan ribu serba-serbi yang layak diceriterakan.
Ketiga tanggung jawab, dimana penulis pernah didaulat sebagai mantan sekretaris panitia khusus Lapindo di Sidoarjo. Pada posisi ini telah banyak dilakukan beserta anggota pansus lainnya untuk memperjuangkan ”cash and carry”
......Kasus Lapindo sesungguhnya cukup memperlihatkan betapa kekuatan modal menjadi segala-galanya. Kekuatan sumber daya itu dalam kasus Lumpur Lapindo telah bergerak sangat lincah untuk melangkahi serta menekuk ”hajat hidup orang banyak” bahkan konon, otoritas negara. Pada sisi lain, juga telah membuktikan bahwa proses pembangunan seringkali alpa dari muatan unsur etistika yang berperan dalam menghitung setiap nisbah pembangunan.
......Dalam kasus Lapindo yang telah banyak pengamat disebutkan sebagai peristiwa alam, ternyata toh, apa yang terjadi pada kasus tersebut bukanlah peristiwa yang singgah tanpa sebab yang mendahuluinya. Kita mungkin bisa menyebut peristiwa itu sebagai bencana alam. Akan tetapi, lebih dari itu, ia adalah dampak dari proses eksplotasi yang berlebihan. Kasus tersebut kiranya cukup membuktikan tentang hilangnya sebuah etika pembangunan yang terlalu hiperpragmatis, sebuah pembangunan yang hanya berprinsip bahwa pembangunan hanya untuk mengejar keuntungan atau sekedar bisnis semata.
.....Sumber ledakan: ”Lalu apa sebenarnya penyebab lumpur menyebur? Apakah karena Gempa, sebagaimana yang selalu diutarakan General Manajer PT Lapindo Brantas Inc., Imam Agustino. Seorang rekan dari Pusat Studi Bencana Universitas Pembangunan Nasional [UPN] Surabaya, Mulyo Guntoro pernah menyatakan tak sepakat dengan dalih gempa itu. Ia justru lebih percaya pada analisa bahwa petaka di Renokenongo itu akibat kesembronoan Lapindo.
Dalam pandangan Guntoro, pengeboran di kedalaman lebih dari 2 kilometer seharusnya dilakukan miring, bukan lurus seperti yang dilakukan Lapindo Saat itu.......[Hlm:8]
...Jadi semburan lumpur bukan karena Gempa. Sebab, retakan tanah baru bisa terjadi jika ada gempa dengan kekuatan lebih dari 5 pada skala Richter. Padahal gempa yang terjadi di Yogyakarta dan dirasakan di Sidoarjo hanya berkekuatan 2 pada skala Richter. ”Jadi, lucu jika mereka bealasan ada gempa,” Ujar Guntoro waktu itu...[hlm:9]
Dalam kasus Lumpur ini ada beberapa yang harus diperhatikan :
Bencana Lumpur panas Porong semakin hari semakin meluas. Jika penyelesaiannya masih parsial maka akan semakin sulit dikendalikan
Dampak social yang timbul makin komplek dan membuat kawasan social tersendiri
Pemerintah terlihat keraguan dalam menetapkan langkah termasuk pembiayaan dalam menuntaskan bencana Lumpur porong ini
Akibat persoalan yang berlarut-larut maka terindikasi adanya kemungkinan “hostal take over” atau membangkrutkan Bakrie Group
Implikasi apapun tindakan pemerintah terhadap bakrie Group bukan tidak menmbulkan kerawanan pada dunia usaha selain menakutkan investor
Dalam kurun waktu yang tidak lama lagi jika tidak terjadi perubahan yang signifiakn alam penanganan dan perbaikan ilapangan persoalan mengundang kerawanan politik yng serius
Pada kenyataannya masyarakatpun tidak terinformasi kejadian yang ebenarny di Porong dan sekitarnya karena selama ini sudut pandang keberpihakan trhdap warga korban jauh leih menarik daripda terungkapnyarealitas sebenarnya [hlm: 48]
ANTARA SATKORLAK, TIMNAS dan BPLS
Kinerja tiga tim disoroti oleh buku ini, tentunya sorotan tentang kinerja yang gagal. Ketika Satkorlak dibentuk hingga bubar, ternyata lancar-lancar saja, namun Lumpur yang terus membubung membuat tim ini akhirnya digantikan tim baru, yakni Timnas.
Berbeda dengan periode satkorlak, periode timnas ini sudah mulai ada tanda-tanda mengalami kemacetan pembiayaan dari Lapindo. Beragam upaya penghentian semburan Lumpur juga tak pernah membuahkan hasil, termasuk yang terakhir adalah dengan scenario bola beton, gagal total [hlm:112]
Scenario timnas untuk penghentian semburan Lumpur bisa dikatakan kegagalan secara nyata. Ada spillway yang berheni, scenario pompansasi yang tak jalan, pond-pond yang juga gagal. Skenario penghentian semburan Lumpur bisa dikatakan tak membuahkan hasil.
Tentang BPLS, meski kinerjanya masih belum nampak jelas, ada beberapa komentar para ahli yang bisa dicermati. Suparto Wijoyo, ahli hukum lingkungan dari Universitas Airlangga, menganalisa secara serius keberadaan lembaga baru ini.
BPLS tidak ada bedanya dengan Timnas, karena ini sama saja perpanjangan masa kerja dengan baju yang bebeda” ,katanya. Pemerintah yang memutuskan untuk membentuk BPLS sebagai badan baru yang menangani tragedi ini. Sementara itu badan lama yakni Timnas belum dievaluasi kinerjanya. Terlebih lagi, merujuk pada Keppres No. 14 Tahun 2007 , kewenangan yang diberikan kepada BPLS tidak lebih baik dibandingkan Timnas yang menurut penilaian Suparto gagal menjalankan tugas. [hlm:118]
…..Senada
YBLBHI [Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia] dalam siaran persnya tertanggal 16 April 2007 menyatakan keberadaan Perpres No. 14 Tahun 2007 adalah cerminan ketidak berdayaan Pemeintah dalam melindungi rakyatnya. Bahkan dengan adanya ketentuan Pasal 15. Pemerintah terkesan dibodoh-bodohi dan diarahan oleh Lapindo yang pada akhirnya merugikan para warga korban dan masyarakat luas
Konspirasi Di Balik Lumpur Lapindo [Dari Aktor hingga Strategi Kotor]
JUDUL : Konspirasi Di Balik Lumpur Lapindo [Dari Aktor hingga Strategi Kotor]
PENGARANG : Ali Azhar Akbar
PENERBIT : Percetakan Galang Press Jl Anggrek 3/34 Baciro Baru Yogyakarta 55255 Telp. [0274] 554985, 554986 E-mail: glgpress@indosat.net.id Web: http://www.galangpress.com/
CETAKAN : Mei 2007
ISBN : 979-23-9938-0
JUMLAH HALAMAN: 252 hlm
[”Buku ini menyampaikan pesan bahwa kejahatan kemanusiaan atau pelanggaran HAM tidak hanya lahir dari konflk politik semata, namun juga lahir dari motif ekonomi politik ats eksplotasi sumber daya alam ” Irsyad Thamrin, Direktur LBH Yogyakarta. Tulisan ini terpampang pada kulit depan.
Dalam buku ini mencatumkan gossary yang terkait dengan peristilahan eksplorasi minyak, dengan maksud khalayak bacanya akan mudah mencerna isi buku, tanpa harus susah payah membuka kamus. Dari judul buku mengesankan adanya pemblejetan-pemblejetan terkait dengan semburan lumpur. Personal klonglomerasi Bakrie Brothers, dipaparkan lengkap dengan riwayat pekerjaannya, bahkan struktur oraganisasi ikut menjadi pelengkap.
Arifin Panigoro salah satu pemilik saham dalam aktivitas eksplorasi juga diungkap tuntas, mulai awal karir hingga kegiatan politiknya. Buku ini membeberkan kesembronoan Lapindo ketika melakukan eksplorasi. Antara lain terpapar pada halaman perhalaman, misalnya:
..Berdasarkan keterangan Syahdun, mekanik pengeborang dari PT Tiga Musin Jaya, semburan gas dan lumpur disebabkan pecahnya formasi sumur pengeboran yang terjadi sekitar pukul 04.30 WIB. Bor macet saat akan diangkat ke atas untuk mengganti alat Karena gas tidak bisa naik melalui saluran fire pit dalam rangkaian pipa bor, gas kemudian menekan ke samping dan akhirnya keluar permukaan melalui rawa.
Tiba-tiba, senin pagi, 29 Mei 2006, lumpur menyembur hingga ketinggian 40 meter pada jarak 150 meter dari lokasi pengeboran. Luapan lumpur terus mengalir hingga kini. Sekarang ketinggian lumpur telah menggenangi sawah, halaman pabrik, rumah-rumah penduduk hingga ruas jalan tol. Kelainan tu telah menimbulkan dampak yang luar biasa dahsyat, bahkan telah memakan korban jiwa [hlm:77]
.......Sebenarnya sejak awal semburan ini dapat dicegah bila saat pengeboran terjadi dilakukan penutupan dengan casing baja pada penjangga pengeboran untuk melindunginya dari tekanan saat dilakukan pengeboran. Namun, hal ini tidak dilakukan oleh Lapindo. Akibatnya, batuan menjadi retak dan campuran air serta tanah mencari jalan keluar melalui retakan terjadi.
Kasus yang persis sama pernah terjadi tahun 1979 di lepas pantai Brunei dan penanganan berlangsung sampai 30 tahun kemudian ditambah pembangunan 20 relief well dan pengawasan. Kasus tanah amblas dengan radius 10 km memang belum pernah terjadi. Rekor yang pernah ada terjadi di Amerika dengan diameter 6 km. [hlm:137]
......Selain lalai memasang casing, pihak Lapindo juga mengabaikan temuan dari penelitian sebelumnya. Kusumastuti, ahli Geologi Huffco yang telah awal melakukan eksplorasi di Blok Brantas dan hasil temuannya pada tahun 2002, menemukan lapisan lempung atau slump yang dapat bergerak dan labil. Bila lapisan itu ditembus secara vertikal, sudah diprediksi adanya risiko ledakan lumpur panas. Oleh karenanya mereka menyarankan untuk melakukan pengeboran miring, supaya terhindar dari lapisan lempung itu..Namun, hasil temuan ilmiah ini dianggap angin lalu oleh pengambil keputusan Lapindo. [hlm:161].
ADA SKENARIO PENYELAMATAN DIRI
Patut diduga pula, sekarang muncul tiga skenario yang berujung penyelamatan perusahaan milik Keluarga Bakrie.
Pertama: tetap mempertahankan pendapat, bahwa ”undergrounnd blow out” sumur eksplorasi BJP-1 bukan kelalaian yang disengaja dalam teknis pemboran, melainkan terkait dengan bencana alam yang terjadi di Yogyakarta yang berjarak 250 km. Bila pendapat itu bisa dipertahankan, paling tidak kerugian akibat ”underground blow out” itu bisa diringankan oleh klaim asuransi yang bersedia menanggung kerugian Lapindo Brantas hingga sebesar US$25 juta.[hlm:123]
......Bila skenario itu gagal, ada skenario kedua, yaitu amputasi,PT Energi Mega Persada selaku indul perusahaan bisa saja mengamputasi Lapindo Brantas Inc, dengan harapan agar borok-borok kusta itu tidak menjalar hingga ke tubuh perusahaan induk. Bila Lapindo dibuang dan dinyatakan pailit, si biang kerok ini akan sulit dimintai pertanggung-jawaban sebagai badan hukum. [hlm: 165]
Skenario ketiga adalah dengan mengkaitkan sumur BJP-1 yang bermasalah dengan 21 sumur milik Lapindo Brantas yang sudah terlebih dahulu beroperasi dan letaknya berdekatan. Dengan demikian, sumur BJP-1 bukan termasuk sumur yang sedang ekplorasi melainkan sumur yang sudah produksi, sehingga biaya pemulihan [Cost recovery] bisa diklaim dari sana, sebagai bagian biaya produksi Blok Brantas. [hlm:167]
BANJIR LUMPUR BANJIR JANJI [GUGATAN MASYARAKAT DALAM KASUS LAPINDO]
JUDUL : Banjir Lumpur Banjir Janji [Gugatan Masyarakat Dalam Kasus Lapindo]
PENGARANG : Aloysius Soni BL de Rosari [editor]
PENERBIT : PT Kompas Media Nusantara Jl. Palmerah Selatan 26-28 Jakarta 102270, E-mail: buku@kompas.com
CETAKAN : Oktober 2007
ISBN : 978-979-709-329-7
JUMLAH HALAMAN: x + 462 hlm
[Buku ini tebalnya lumayan merupakan kumpulan tulisan, terdiri dari tujuh bab, sebanyak 96 tulisan, mulai dari opini orang perorang sampai tajuk rencana. Slenjutnya buku ini didiakhiri dengan sebuah epilog yang ditulis Emha Ainun Najib alias Kyai Kanjeng.
Pada bab I terdapat tulisan yang mempertanyakan, antara bencana dan kelalaian yang selengkapanya:
…..
Dokumen yang diterima kompas, yang ditujukan ke Lapindo Branas Inc, berisi 18 Mei 2006 atau 11 hari sebelum semburan gas, PT Lapindo Brantas sudah diingatkan soal pemasangan casing atau pipa selubung oleh rekanan proyek. Pipa sudah harus dipasang sebelum pengeboran sampai di formasi Kujung (lapisan tanah yang diduga mengandung gas atau minyak) di kedalamana 2.804 meter.
Lapindo sebagai operator proyek belum memasang casing berdiameter 9 5/8 inci pada kedalaman 2.590 meter. Pemasangan casing adalah salah satu rambu keselmatan [hlm: 16]
Selanjutnya: PT Medco Energy (pemegang 32 persen saham), pada 18 ei 2006 sempat merekomendasikan agar Lapindo Brantas Inc memasang casing di kedalaman 8.500 kaki. Alasan yang disebutkan dalam suratnya, hal itu bertujuan untuk menghindari potensi persoalan di dalam sumur [potential down hole problems]. Artinya, Medco Energy telah melihat potensi persoalan apabila tidak dipasang casing.[hlm:49]
LEMAHANYA PEMERINTAHAN
Betapa lemahanya Pemerintahan [ditulis Eep Saefulloh Fatah]
Sekitar tiga bulan setelah tidak menjabat Presiden Amerika Ronald Reagan diminta seorang jurnalis untuk menyebut kunci sukses pemerintahannya. Jawaban Reagan, sebagai pemerintahan yang baik (nice), benar (right), dan kuat (strong). Selama hampir dua tahun bekerja, pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Muhammad Jusuf Kalla (JK) berusaha sebagai pemerintahan yang baik dan benar, tetapi gagal membuktikan mereka kuat. Upaya pemerintah melakukan manajemen bencana adalah konfirmasi fakta itu. Kasus Lumpur panas idoarjo adalah pembuktian paling mutakhir
1 comment:
LUAR BIASA!! pak Kaji Orong-orong tambah dalam menggali ilmu dan khasanah dunia. Matur suwun banyak orang memperoleh manfaat dari sampeyan.
Post a Comment