SILA CARI DI SINI!

Google

Saturday, February 16, 2008

PENDIDIKAN BERMAKNA:PROF. MUCHLAS SAMANI.

Buku mensinergikan antara:
  • Kecakapan Hidup [life skill];
  • Kurikulum Berbasis Kompetensi [curriculum base competition]
  • Manajemen Berbasis Sekolah [scholl base managemanet]
  • Pembelajaran kontektual [contextual teaching and learning-CTL]

Kemungkinan besar lahirnya buku ini karena refleksi diri seorang Muchlas Samani, dengan ketajaman inderanya yang menangkap realita empirik terkait dengan pendidikan. Dasar kepiawaian yang dimilikinya, sekaligus modal interaksi dengan lingkungannya mengantarkan berbagai niatannya dalam menginduksi berbagai masalah pendidikan di tanah airnya. Keberanian untuk mengungkap secara cermat, tanpa sedikitpun mereduksi apa yang dilihatnya patut diacungi jempol, kendatipun saat itu status and role yang disandangnya sebagai bagian dari elite pendidikan di negeri ini. Tanpa ragu-ragu inilah, yang mengantarkan warung kami menghadirkan pokok-pokok pikiran Profesor Muchlas Samani, dengan sebuah bukunya yang bertajuk „Pendidikan bermakna“
Buku ini sangat ajaib, karena yang memberikan pengantar buku, tidak tangung-tanggung, mantan rektor, satu lagi rektor yang belum mantan, dan seorang Dirjen yang juga belum veteran.
Kata Pengantar dari tokoh-tokoh tersebut sangat berarti dalam memberikan navigasi pemahaman buku ini. Warung kami mencoba memberikan garis bawah, dari pengantar para rektor tadi, yang tentunya memiliki kergayutan sari pati buku ini.
Cuplikan kata pengantar :
Prof.Dr. Budi Darma [mantan Rektor IKIP Surabaya] : Memberi tajuk pengantar „Menggagas Pendidikan Yang baik“
Budi Darma mengatakan bahwa pendidikan pada hakikatnya tidak mungkin lepas dari sejarah umat manusia, sejarah sebuah bangsa dan negara, serta dengan sejarah pendidikan itu sendiri.
Pendidikan digarap tanpa mempertimbangkan sejarah, serta indentitas budaya kita sendiri, dan segalanya dikerjakan dengan paradigma serba instan. Maka akan mengarahkan cara pemikiran kita miopis [catatan warung: miopis, acap kali diartikan di awang-awang atau tidak membumi]. Oleh karena kita kurang menengok ke belakang, dan kita juga kurang mampu menjangkau masa depan.
Tulisan H.A.R Tilaar dikutipnya untuk memperkuat gagasan, antara lain: „dengan berorientasi pada studi kultural yang ujung-ujungnya nanti akan sampai ke multikulturalisme pula, maka perlu adanya paedagogik transformatif, yaitu paedagogik dengan akar paedagogik kritis dalam wujud ramuan kebudayaan. Paedagogi ini, dengan sendirinya, bergerak pada tataran praksis, yaitu praktik pendidikan di lapangan. Oleh karena pendidikan tidak mungkin di awang-awang, maka dunia praksis menjadi amat penting.
Dalam pengantarnya, Budi Darma juga memberikan catatan yakni: „manusia seharusnya tidak didekati sebagai obyek mati semata, namun penuh dengan simpati dan empati. Dalam sempati dan empati, siswa kita hadapi dengan perasaan seolah kita terlibat nbenar-benar dalam kesulitan-kesulitan pribadinya, dan merasakan kesulitan-kesulitan itu sebagai kesulitan-kesulitan kita sendiri
Prof.Dr.H.Haris Supratno, Rektor Unesa:
Dalam pengantarnya mengatakan:
Pendidikan yang bermakna merupakan upaya membantu anak didik untuk memberdayakan potensi yang dimilikinya, sebagai bekal hidup di masa depan, untuk memperoleh kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.
Untuk mencapai hal tersebut sebaiknya bukan hanya memfokuskan pada ranah kognitif saja, juga harus memperhatikan seluruh potensi yang dimilki anak didik. Pendidikan harus mampu menjadi media untuk memberdayakan ranah pikiran, ranah hati, ranah perasaan atau emosional, ranah sosial, ranah religi, serta ranah raga.
Pendidikan yang baik dan bermakna pada hakikatnya adalah pendidikan yang mampu mengantarkan dan memberdayakan potensi anak didik sesuai bakat, minat, dan kemampuan yang dimilikinya serta mencakup keenam ranah diatas, sehingga di masa depan setelah dewasa ,ereka bisa sukses.
Pendidikan bermakna, bukan semata-mata untuk mengejar target lulus ujian nasional agar tetap bisa melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, tetapi harus diarahkan agar anak didik kelak dewasa bisa sukses di dalam berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, bernegara, dan beragama. Atau dengan pendek kata, pendidikan yang bermakna adalah pendidikan yang dapat membekali anak didik dapat suskses dalam menghadapi problema kehidupan.
Prof Dr. Suyanto, Dirjen manajemen Pendidikan Dasar dan Menegah Depdiknas:
Secara singkat dalam pengantarnya mengatakan, bahwa tantangan pendidikan adalah bagaimana mengembangkan kreativitas anak didik, karena kreativitas merupakan modal awal dari kemampuan berinovasi. Pola pembelajaran induktif dengan menekankan kemampuan memecahkan masalah, merupakan inovasi yang memberikan dampak positif pada anak didik.
Pendidikan pada dasarnya domain publik, sehingga inovasi yang dilakukan seorang-orang atau lembaga pendidikan, hendaknya dapat diketahui dan diadopsi oleh orang atau lembaga lain. Inilah cap legitimasi Prof. Dr. Suyanto terhadap buku yang bertajuk Pendidikan bermakna, agar menjadi rujukan dalam mengolah pendidikan di Tanah air.
Memasuki Buku:
Jati diri penulis nampak sebagai seorang-orang yang berada pada pusaran religi sekaligus cinta akan kebijakan [love of wisdom], dengan jelas terungkap ketika menorehkan pokok-pokok pikirannya. Kepedulian dan keberpihakan dialur yang penuh dengan empati dan simpati terlihat lugas misalnya:
Dalam bab pendahuluan ditulis bahwa, salah satu komponen kompentensi yang saat ini kurang mendapatkan perhatian dalam praktik pendidikan adalah pengembangan akhlak. Dalam praktik pendidikan sehari-hari di sekolah, pengembangan akhlak seakan-akan hanya dibebankan kepada guru Agama dan PKn. Guru mata pelajaran lain, seakan tidak merasa punya kewajiban dalam pembentukan akhlak siswa. [hlm: 8]
Keinginan untuk mengembalikan pendidikan pada kemasan yang sesungguhnya, bahwa pendidikan adalah tanggung jawab bersama, pendidikan terjadi di mana saja, baik di sekolah maupun di rumah dan di masyarakat. Tampaknya menurut Muchlas Samani, sering terjadi arogansi sekolahan, ketika sekolah bermaksud mengambil semua tanggung jawab pendidikan siswanya. Karena dilihat dari waktu, siswa lebih banyak berada di rumah dibanding disekolah. Di masyarakat perkotaan, juga banyak orang tua yang terdidik yang memahami prinsip-prinsip pendidikan dengan baik. Di rumah dan di masyarakat juga terdapat banyak sumber belajar yang dapat dimanfaatkan oleh siswa maupun sekolah. Peran masyarakat tidak boleh diabaikan [hlm: 13]
Mengembangkan interaksi dengan masyarakat untuk kepentingan pendidikan dilakukan penulis, dengan membangun suasana dialogis ketika bergumul dengan masyarakat. Melalui wahana itulah, banyak informasi yang diendusnya, selanjutnya realitas empiri tadi di indusksi akhirnya melahirkan tesa-tesa sebagai berikut:
Pendidikan kita tampaknya terlalu teoritik, seperti di awang-awang, tidak membumi, dan memisahkan siswa dari kehidupan sehari-hari. Pendidikan kita tidak membekali siswa bagaimana menghadapi kehidupan nyata di masyarakat, sehingga menyebabkan mereka tidak tahu apa yang harus dikerjakan, kecuali belajar dari buku, bersenang-senang ala kehidupan anak kota dan setelah lulus ingin meneruskan sekolah atau mencari pekerjaan dengan bekal selembar ijazah. Oleh karena itu, sangat wajar jika orang tua mereka mempertanyakan „untuk apa anak harus sekolah, jika sekolah justru menjadi beban orang tua?“[ hlm:30].
Rupanya realitas ini juga tertangkap sama dan sebangun oleh Robert T. Kyosaki, seorang-orang warga Jepang kelahiran Hawai. Melalui bukunya yang berjudul „Rich Dad Poor Dad“ sekaligus juga mempertanyakan isi pendidikan di negaranya, sehingga memicunya untuk menorehkan pikiran kritisnya dalam buku yang sangat provokatif.
If you want to be rich and happy, don’t go to school”. Dalam buku ini terungkap bahwa pendidikan selama ini tidak memberikan bekal untuk menghadapi kehidupan nyata. Kendatipun terkesan bahwa Kyosaki mempersempit makna hidup dengan mencari kekayaan materi, tetapi ungkapannya tentang pendidikan sangatlah rasional [hlm:33]
Ungkapan Michael Porter, professor administrasi bisnis di Harvard Business School, juga dirujuk, oleh penulis. Karena pikira Michael sangat kritis dan beralur filosofis, selengkapnya. …Sebaiknya kita tidak hanya berpikir tentang how to do, tetapi juga harus berpikir what to do. Terkait dengan ranah pendidikan, kita tidak boleh hanya memikirkan metode pembelajaran yang cocok dengan anak kita, tetapi juga harus berani mempertanyakan :” apakah materi yang dipelajari anak-anak memang sudah tepat”. Pengertian tepat untuk materi belajar, tentunya harus dikembalikan pada filosofi belajar itu apa dan untuk apa anak harus sekolah. [hlm: 34], hal senada juga diungkap penulis pada halaman 67.
Berbagai kelemahan pendidikan kita juga menjadi perhatiannya, setelah melihat out-put pendidikan, yang cenderung melahirkan lulusan yang kurang mampu dalam menuangkan gagasan.
Pada halaman 105, tertulis. Salah satu kelemahan pendidikan kita selama ini adalah anak-anak tidak berani mengemukakan pendapat. Kelehaman itu bahkan sering sampai ke perguruan tinggi. Oleh karena itu, ketika anak lulusan S1 melanjutkan kuliah ke jenjang S2 di Negara lain, seringkali membuat dosennya kesulitan untuk mengetahui kemajuan belajarnya, karena tidak pernah mengeluarkan pendapat di saat kuliah maupun diskusi.
Sering orang gagal menyampaikan gagasan, bukan karena gagasannya kurang bagus, tetapi cara penyampainnya keliru.
Menjunjung Kejujuran:
Mengapa kita gembira saat anak dapat nilai bagus dan sedih kalau anak dapat nilai jelek. Tetapi kita kurang peduli apakah anak kita berperilaku jujur atau tidak, guna memperoleh nilai itu. Inilah kesan yang sangat popular di masyarakat kita. Ternyata perilaku orang tua sangat signifikan dalam melahirkan perilaku kurang jujur. Budaya mencontek akan menjadi sebuah kebiasaan baru yang dianggap halal-halal saja.
Menurut Muchlas, penanaman sikap jujur kepada anak ternyata perlu diikuti oleh pemberian penghargaan, ketika si anak sudah melakukannya. Kita tidak boleh kemudian tidak menghargai kejujuran itu dan lebih mengedepankan aspek lainnya. Sungguh suatu pelalajaran berharga bagi kacamata pendidikan. [Hlm:115]
Catatan dalam menggagas pendidikan akhlak :
Pertama, baik orang tua maupun kalangan guru sama-sama menganggap bahwa pendidikan akhlak itu penting bagi anak-anak
Kedua, yakinlah walaupun sulit pasti dapat dilakukan
Ketiga, ingat bahwa siswa memiliki kepedulian terhadap akhlak seorang-orang yang ada disekitarnya atau dilingkungannya. [catatan warung: orang yang dikenal harus memberikan keteladanan]
Keempat: agar dapat berhasil dengan baik, pendidikan akhlak harus dirancang dengan baik dan secara bersama antara sekolah dan orang tua siswa.
Kelima, teladan merupakan factor penting dalam keberhasilan pendidikan akhlak
Keenam, pendidikan akhlak harus dilakukan secara konsisten dalam jangka panjang.
[hlm: 122-123]
Membongkar Asumsi Pendidikan :
Teryata terdapat asumsi-asumsi pendidikan yang salah atau kurang tepat, penulis melihat banyak praktik-praktik pendidikan yang bertahtakan asumsi yang salah. Asumsi itu antara lain:
Pertama: asumsi bahwa tujuan pendidikan itu adalah mempelajari ilmu pengetahuan. Oleh karena itu kurikulum dikembangkan berdasarkan ilmu pengetahuan dan materi ajar diambil dari teori dan konsep dari ilmu pengetahuan yang paling mutakhir.
Kedua, ilmu pengethauan diasumsikan terbagi dalam berbagai bidang yang saling terpisah, dan tidak saling sapa, misalnya Matematika, Fisika, Ekonomi, Psikologi dan sebagainya. Padahal problema kehidupan tidak dapat dipahami secara terkotak-kotak seperti ilmu pengetahuan yang selama ini ada.
Ketiga, belajar itu berlangsung di ruang kelas dan bersumber dari buku-buku mata pelajaran. Oleh karena itu, siswa „dikurung“ di dalam kelas selama jam pelajaran.
Keempat, anak diasumsikan tidak dapat belajar sendiri, sehingga guru harus mengajarinya. Pola ini cenderung mengembangkan pendidikan yang doktriner.
Berdasar asumsi yang salah ini, maka diperlukan mengkajian yang cermat, dan merancang solusi cerdas.
Penulis buku ini mengakui sering kali dinuansai oleh kalimat-kalimat bijak, dalam memicu gagasannya. Misalnya ketika dalam artikel sebuah surat kabar, memuata kalimat bijak, maka serta merta akan melahirkan gagasan. Suatu ketika penulis melitas di jalan raya, Gatot Subroto Jakarta, sebuah Opel Blazer yang melintas di depanya, tepatnya pada kaca belakang tertera stiker bertulisan ‚ „who ever the president our kids should go to school“ menarik perhatiannya, pikiranya ingin mengganti kata tersebut menjadi „ who ever the president, our kids should go to school and get the best education”. Juga ketika membaca sebuah kabar, tertangkap suatu kalimat bijak. Kalimat bijak itu adalah : „non schlae sed vitae discimus“ [maknanya adalah „belajar bukan untuk sekolah tapi untuk kehidupan“].
Melalui berbagai wahana dialog dengan melibatkan kawan-kawanya, terwujud kristalisasi gagasan yakni, menjadikan life skill sebagai orientasi yang digunakan pendidikan.Oleh karena itu, dalam mengembangkan kurikulum seharusnya ilmu pengetahuan hanyalah sebagai sumber konsultatif dan bukan sebagai acuan dasar. Dengan kata lain, yang menjadi tujuan untuk dicapai melalui kurikulum adalah penguasaan life skill, sedangkan im,u pngethauan adalah sebagai wahana. [hlm 136]
Kunci Sukses untuk Guru:
Guru harus terus berinprovisasi sepanjang jam pelajaran untuk menyesuaikan dengan kondisi siswanya.

  • Jika siswa tampak kurang semangat harus memberi motivasi.
  • Jika siswa tampak lelah, harus membuat situasinya ceria
  • Jika siswa tampak bingung, harus membantu menjelaskan.


Seorang kawan penulis pernah menuturkan kelakarnya. Guru itu ibarat pelawak, yang harus tahu model lawakan apa yang cocok dengan penontonya. Jika ternyata penonton tidak tertawa, dengan cepat pelawak harus mengubah lawakannya, sehingga penonton tertawa.
Menurut Muchlas, dalam menumbuhkan motivasi perlu dua tahapan, yaitu menarik perhatian siswa kepada apa yang sedang dipelajari dan membuat siswa tergila-gila untuk mempelajarinya. [hlm 159]
Menyoroti Manajemen Berbasis Sekolah [MBS}
Makna terdalam dari MBS, adalah wewenang sekolah dalam „ruang gerak“ atau „otonomi“ dalam mengelola sekolah dan tidak sekedar menerapkan kebijakan-kebijakan dari atas. Kebijakan dan pertunjuk tersebut harus disesuaikan dengan situasai dan kondisi setempat agar dapat berjalan dengan baik [ catatan warung : baik = ERR(efektif efisien dan rasional)]



Wusana kata :
Buku ini sangat bagus penuturannya, merupakan induksi dari fenomena empirik. Penulis tidak terlihat berpretensi untuk mengkritik, tapi merefleksi fakta. Tidak ada kata siapa yang salah, dan selalu mengedepankan kata „ KITA“ yang bermakna, semua yang terjadi adalah persoalan kita. Kristalisasi pemikiranya dipusatkan kepada bagaimana meningkatkan pribadi anak bangsa, agar hidup bermakna.
Kurikulum yang dirancang hanya mengedepankan tranformasi pengetahuan, dan tidak seimbang dalam meningkatkan harkat manusia, menurut penulis percuma dan tak bermakna. Kecakapan hidup adalah solusi dasar, karena pendidikan selalu berujung pada nilai-nilai hakiki kemanusiaan.
Warung kami, akan mengundang siapa saja yang memiliki gagasan selaras dengan pemikiran ini. Dan akan kami tampilkan dalam lembaran blog kami: http://www.warung–buku.co.cc/
JUDUL : Menggagas Pendidikan Bermakna [Integrasi Life Skill-KBK-CTL-MBS]
PENGARANG : Muchlas Samani
PENERBIT : SIC Jl. Kali Kepiting 97 Sutrabaya 60132 Telp [031] 3813234. CETAKAN : 2007
ISBN : 979-9910-55-2

JUMLAH HALAMAN: 213

1 comment:

haliratnanto said...

isi paparan = potret keadaan/ situasi, dirasa dan dikeluhkan banyak pihak, apa sebab moral+ budaya+sosial kaum muda hingga terjadi merosot begini; banyak teori penyebab dan alternatif penyelesaian selama ini diajukan, belum menyentuh akar permasalahan. dibuku ini teruraikan dalam bahasa amat gamblang akar+percabangan penyebab plus akibat timbul di kemudian hari menjadi kabur dan sulit dicari selama ini untuk dibenahi/tata ulang oleh siapa+apa pun yang berkenan dan berminat.

buku bagus, enggak menghakimi, dan simpulkan sendiri!

salam
kucinge perpus