SILA CARI DI SINI!

Google

Monday, January 28, 2008

BUKU LIBERALISASI PENDIDIKAN: KRIKTIK HABIS MENDIKNAS.

Mimpi apa Menteri Pendidikan Nasional, Bapak Prof.Dr.Bambang Sudibyo ? dan
Mimpi apa Penulis Buku “Liberalisasi Pendidikan”,Bung Mu’arif.
Inilah sekitar pertanyaan dari warung kami, setelah membaca cermat tulisan bung Mu’arif dalam bukunya yang berjudul “Liberalisasi Pendidikan” [Menggadaikan Kecerdasan dan Kehidupan Bangsa].
Barangkali penulis terkatarsis oleh fenomena yang berkembang di belantara pendidikan Indonesia, serta realitas yang tak perpungkiri karena menggambarkan fakta empiri praktik dunia pendidikan.
Menurutnya, pendidikan nasional saat ini sarat dengan pergumulan ideology dan politik, sehingga praktik-praktik pendidikan di Indonesia terlempar jauh dari fungsi dan tugas pendidikan sebenarnya. Tampaknya pendidikan dari pengamatan penulis buku, tidak lagi tulus ingin menuntaskan masalah kebodohan dan kemiskinan. Jika pendidikan tidak berpihak pada rakyat, bahkan melakukan praktik-praktik liberalisasi, maka justru menjadi musibah.
Buku ini, terkesan memberikan kritik pedas pada dunia pendidikan kita., seakan-akan merupakan wahana mengkritisi pendidikan, sekaligus juga mengkritisi nahkodanya, yakni, Bambang Sudibyo.
Profesionalisme Mendiknas disoal secara lugas. Sorotan diawali dari beberapa jabatan menteri yang dinilai bernuasa kompromi, sehingga berakibat mengabaikan aspek profesionalisme. Sebut saja posisi Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) yang ditempati Bambang Sudibyo. Beliau lebih dikenal sebagai pakar ekonomi ketimbang sebagai pakar pendidikan. [Hlm: 125:126]
Berapa pakar dan praktisi pendidikan sempat meragukan kompetensi Menteri Pendidikan Nasional ini. Jika ditelisik perjalanan karier Bambang Sudibyo, tentu setiap orang akan menyimpulkan bahwa Mendiknas jelas bukan pandidik. Bambang Sudibyo pernah mengelola Magister Management Universitas Gajah Mada dan Menteri Keuangan di era rezim Abdurrahman Wahid, itu jelas tidak menunjukkan kompetensinya untuk posisi ini. Ada kekhawatiran jika managemen pendidikan nasional akan diterapkan seperti manajemen bisnis berorientasi profit. Jika demikian jelas pendidikan nasional akan berhadapan dengan gejala komersialisasi pendidikan.
Beberapa pandangan yang sempat mencuat kepermukaan ialah pertama karena kapabilitas sosok Mendiknas tidak sesuai dengan jabatannya. Ibarat one man in the wrong place, muncullah kekhawatiran jika manajemen pendidikan nasional akan carut-marut.
Bambang Sudibyo ditengarai menghendaki manajemen pasar bebas dengan menyematkan pendidikan sebagai salah satu produknya. Akibatnya tidak bisa dibayangkan lagi, betapa pendidikan sangat mahal.
Dalam kasus yang lebih nyata adalah keberadaan lembaga-lembaga pendidikan yang banyak dikelola oleh Muhammadiyah. Beberapa institusi pendidikan unggulan yang dikelola oleh Muhammadiyah, disamping harganya mahal, tetapi banyak diakui keberhasilannya oleh pakar dan praktisi pendidikan di Indonesia. Dari sudut institusi-institusi pendidikan unggulan yang dikelola Muhammadiyah telah banyak melahirkan kaum cendiawan [intelektual], professional. Namun, sekali lagi, masyarakat harus menanggung resiko beban biaya pendidikan yang sangat mahal. [hal: 45]
Pendidikan nasional untuk saat ini seperti semakin jauh dari visi kerakyatan. Bahkan dengan gerakan otonomi sekolah-sekolah tinggi semakin jelas menunjukkan gejala kapitalisme pendidikan. Saat ini pendidikan dikelola dengan menggunakan manajemen bisnis yang kemudian menghasilakn biaya yang melangit. Biaya pendidikan makin mahal, bahkan terkesan telah menjadi komoditas bisnis bagi kaum pemilik modal [kapitalis]. Dengan menggunakan label sekolah unggulan, Sekolah Favorit, Sekolah Percontohan, Sekolah Model, dan sebagainya, biaya pendidikan kita semakin menindas terhadap kaum marginal. Di manakah letak keadilan pendidikan kita jika sekolah yang bermutu itu hanya untuk mereka yang berduit saja? [hal: 106]
Dalam konteks nasional, paradigma liberal mulai amat kentara dipraktikkan oleh sang menteri. Terutama ketika kebijakan otonomi pendidikan menjelma privatisasi pendidikan, Wajar 12 tahun, kontroversi ujian nasional dan baru-baru ini tentang badan hukum pendidikan [BHP] yang menghendaki konsep dua jalur pendidikan. Kesemuanya itu dalam pandangan penulis secara pribadi merupakan indikasi dari liberalisasi pendidikan nasional. [hlm:86]
Gagasan BHP justru akan semakin menjauhkan tanggung jawab pemerintah untuk menangani pendidikan nasional. Indikasinya, dengan penerapan BHP itu setiap lembaga pendidikan akan menerapkan manajemen profit yang kemudian mengabaikan nilai-nilai yang berorientasi sosial. Dengan system manajemen seperti itu, pemerintah kemudian melepaskan sepenuhnya beban penyelenggaran pendidikan di daerah-daerah. Dan, akibat paling fatal, manajemen korporasi itu akan menjerat rakyat miskin untuk membayar biaya pendidikan mereka yang diselenggarakan dengan manajemen ala kapitalis itu.
Dampak yang palingnyata ke depan, pendidikan di Indonesia akan menjadi ajang pasar para kapitalis.
Atas dasar pertimbangan di atas penulis kemudian merasa pesimis jika masalah pendidikan nasional dengan munculnya dua isu besar berskala nasional akan mengalami perbaikan-perbaikan. Dan, bukanya perbaikan-perbaikan yang akan kita capai pada masa yang akan datang., malainkan kehancuran total system pendidikan yang dijalankan dengan manajemen kapitalis itu. Rakyat kecil yang miskin akan menjadi tumbalnya. [hlm: 170]
Dalam rancangan strategis Depdiknas Tahun 2005-2009 diatur dua model jalur pendidikan, yaitu jalur Mandiri dan Standar Formal. Kebijakan ini jelas akan memupuk jurang pemisah antara “si-kaya” dan “si-miskin” di daerah-daerah. Sebab jalur pendidikan Mandiri lebih diorientasikan pada siswa-siswa dari kalangan mampu dengan fasilitas-fasilitas serba kecukupan dan kualitas yang bagus. Sementara jalur pendidikan Standar Formal lebih diorientasikan pada siswa-siswa dari kalangan keluarga tak mampu. Dan, tentunya standar kualitas pendidikannya sudah bisa ditebak karena sangat minimnya kemampuan dana penyelenggarannya. [hlm: 172]
Dalam pandangan penulis, pendidikan jalur mandiri yang sebenarnya merupakan representasi dari kaum elite kaya hanya akan mempertajam perbedaan dan pertentangan strata. Bahkan, lebih lanjut akan menyebabkan kecemburuan sosial dikarenakan posisis marginalnya kaum miskin dengan jalur pendidikan formal-standar. Sudah barang tentu mereka yang mengenyam pendidikan jalur mandiri akan merasa superior, sementara kaum miskin yang menempati jalur formal-standar akan merasa inferior. [hlm: 178]

Buku ini memberi koreksi pada pemerintah, dan pelaku politik.
qDengan pertanyaan yang menohok, diungkap. Apakah pendidikan sudah tidak lagi menanamkan rasa empati sehingga perilaku para elit politk kita makin kekanak-kanakan dan amat memalukan [atas fenomena sering terjadinya korupsi di negeri ini]
q Inskonsistensi pemerintah dalam menerapkan anggaran minimal 20 % [pasal 31 ayat 4 UUD 1945], kasus pelarangan buku sejarah berdasarkan keputusan Jaksa Agung tanggal 5 Maret 2007.Dan penerapan Badan Hukum Pendidikan [BHP]. Kasus-kasus ini menjadi sebuah indikasi nyata, bahwa pendidikan nasional tanpa visi sehingga mudah ditumpangi oleh kepentingan-kepentingan di luar pendidikan. [hlm:123]

Bahan Perenungan:
Akhirnya, kita patut merenungkan pesan Maroeli Simbolon [2004], “ Pendidikan itu benih yang ditabur. Tanpa pendidikan, jangan pernah berharap untuk memetik hasil yang baik.”


DETAIL BUKU :
JUDUL : Liberalisasi Pendidikan [ Menggadaikan Kecerdasan Khidupan Bangsa]
PENGARANG : Mu’arif
PENERBIT : Pinus Book Publisher. Jl. Tegal Melati No. 118 C Jongkang [Belakang Monjali] Sleman, Yogyakarta 55581.E-mail : rumahpinus@yahoo.com
CETAKAN : I Januari 2008
ISBN : 979-99015-0-2
JUMLAH HALAMAN:212

No comments: