SILA CARI DI SINI!

Google

Wednesday, January 23, 2008

MANIFESTO PENDIDIKAN NASIONAL. MANIFESTO PENDIDIKAN INDONESIA

Apakah yang disebut manifesto?. Dalam pengertian popular manifesto [manifest] adalah suatu yang dimiliki dan merupakan potensi yang ingin dinyatakan kepada orang lain atau masyarakat. Misalnya jika kita melakukan perjalanan ke luar negeri, maka kita wajib mengisi daftar isian yang menyebutkan apa saja yang kita bawa, inilah yang disebut dengan manifest perjalanan.
Manifest atau manifesto merupakan sesuatu yang potensial dimiliki seorang-orang. Bisa berupa buah pikir, gagasan, konsep atau lainnya, yang sengaja akan di share-kan kepada orang lain. Apabila seorang-orang merasa yakin akan kebenarannya, maka manifesto dapat dijadikan program perjuangan diri, apakah itu perjuangan kelompok atau perjuangan lembaga. Dikaitkan dengan dunia politik, kita pernah mendengar istilah manifesto politik. Salah satu manifesto politik yang terkenal adalah Manifesto Komunis, yang dikreasi pada tahun 1848. Ketika Karl Mark bersama Fiedrich Engels yang mencetuskan, manifesto kemunis itu merupakan daktrin yang menentang kelas borjuis di dalam masyarakat kapitalis.
Tentunya kita juga pernah mendengar Manifesto Cyborg, yakni sebuah gagasan menuntut kesamaan harkat antara perempuan dan laki-laki. Kemudian di tanah air pernah juga muncul manifesto budayaan, saat ini kita mendengar „MANIFESTO PENDIDIKAN“.
Warung kami menemukan buku yang bertajuk manifesto, dan manifesto ini dikaitkan dengan dunia pendidikan. Pertama Manifesto Pendidikan Di Indonesia oleh Benni Setiawan. Kedua Manifesto pendidikan Nasional di tinjau dari perspektif postmodernisme dan studi kultural, buah karya H.A.R. Tilaar.

JUDUL : Manifesto Pendidikan Di Indonesia
PENGARANG : Beni Setiawan
ALAMAT PENERBIT: Aruzz Jl. Anggrek 97A Sambilegi Lor RT.04 RW.57 Maguwoharjo, Depok, Sleman, Yogyakarta Telp. [0274] 4332044. 0816.4272.234 E-mail : arruzzwacana@yahoo.com.
CETAKAN: I, Januari 2006
ISBN : 979-3417-116-3
JUMLAH HALAMAN: 134
[Buku ini merupakan pledoi penulis terhadap dunia pendidikan bagi kaum tertindas, meneropong berbagai ketidakadilan dan penindasan yang melanda pendidikan di negeri ini. Berbagai fakta dan fenomena yang dicermati, menjadi alur emosional dan sungguh-sungguh menggugah alias „provokatif“. Misalnya kata-kata, „kembalikan hak-hak pendidikan kepada rakyat!“, „wujudkan sekolah murah“, „wujudkan subsidi pendidikan 20%“ dan „Entaslah kebodohan dan kemelaratan pada Rakyat Kecil!“.
Kesejahteraan Guru juga dicermati, menurut buku ini kesejahteraan guru yang minim juga mengakibatkan perilaku guru dalam mengajar. Apalagi guru-guru tersebut tidak mempunyai kelapangan hati untuk mendermakan ilmunya.
Hakikat pendidikan juga disinggung, digambarkan bahwa hakikat pendidikan adalah memanusiakan manusia [humanizing human being].
Pendapat Prof Dwiyarkarya dirujuknya, selengkapanya sbb:
Pendidikan sebagai proses memanusiakan manusia muda, yakni suatu pengangkatan manusia muda ke taraf insani sehingga ia dapat menjalankan hidupnya sebagai manusia utuh, bermoral, berasosial, berwatak, berpribadi, berpengetahuan, dan beruhani. Pendidikan bearti memasukkan anak ke dalam alam nilai-nilai, dan juga memasukkan dunia nilai ke dalam jiwa anak. Pendidikan di sini sebagai suatu bentuk hidup bersama, yakni pemasukan manusia muda ke dalam nilai-nilai dan kesatuan antar pribadi yang mempribadikan. Dalam pengertian mendidik itu, hubungan antara pendidik dan yang dididik adalah dialogis, saling mengembangkan dan membantu. Dalam proses pendidikan, anak didik turut berpartisipasi, aktif dan tidak diposisikan sebagai obyek.
Korupsi diteropong:
Persoalan yang mencakup Korupsi di sajikan dengan memperlihatkan fenomena yang menyedihkan. Artinya justru orang-orang yang bertitel/bergelar professor, doctor, dan gelar tertinggi kependidikan pun tidak lepas dari jeratan korupsi. Korupsi yang melibatkan pejabat KPU, bahkan Mantan Menteri Agama Republik Indonesia, Prof. Dr. Said Agil Husein Al Munawar jadi tersangka. Pendidikan belum mampu mencegah atau setidak-tidaknya memberi gambaran awal bahwa, korupsi merugikan banyak kalangan dan menyengsarakan diri sendiri. Seharusnya pendidikan menjelmakan diri dalam relung kehidupan manusia, sehingga korupsi mampu dicegah kehadirannya. Ditambahkan bahwa pendidikan sebagai pilar bangsa dalam menciptakan kehidupan yang mencerdaskan dan membangun kepekaan terhadap realitas sosial ternyata „jauh panggang dari pada api“ Pendidikan selama ini hanya jadi ajang penindasan dan pembodohan gaya baru yang dibungkus rapi dengan nama sekolah. Penduidikannternyata tidak mampu meminimalisasi kesenjangan sosial dan mengobati penyakit moral yang terjadi sekarang ini.
Profesor [Guru Besar] disemprot:
Banyak guru besar [prefesor] di Indonesia, ternyata belum mampu memberikan andil lebih terhadap kemajuan bangsa. Hal ini diperparah oleh suatu kejadian yang diamatinya. Contohnya disebuah Perguruan Tinggi Negeri di Yogyakarta, seorang prefesor hanya mampu menulis opini di media nasional, itupun ditulis enam tahun yang lalu. Ada juga seorang profesor yang tidak pernah menulis di media masa harian sama sekali. Bagaimana mungkin masyarakat dapat mengenal sosok pemikiran sang profesor. Jika para profesor di Perguruan Tinggi terakreditasi sudah seperti itu keadaannya, bagaimana edengan profesor-profesor lainnya?.
Badan Hukum Pendidikan [BHP]dikritik:
Salah satui contoh penindasan gaya baru adalah diusulkannya Rancangan Undang-Undang [RUU] Badan Hukum Pendidikan [BHP]. BHP berencana menjadikan perguruan tinggi sebagai institusi otonom. BHP sebenarnya adalah kelangsungan dari keinginan pemerintah untuk cuci tangan dari masalah pendidikan.
BHP juga menginginkan adanya korporasi dalam dunia pendidikan. Hal ini tak ubahnya seperti swatanisasi pendidikan nasional. Pendek kata, perguruan tinggi akan dijadikan pabrik pencetak tenaga kerja baru seperti halnya BHMN.
Buku Benni Setiawan ini sangat menggelitik, karena sempat membuat proklamasi pendidikan murah. Isi selengkapnya sebagai berikut:

PROKLAMASI PENDIDIKAN MURAH
Kami Bansa Indonesia dengan ini menyatakan pendidikan murah untuk semua. Hal-hal yang berkenaan dengan pembiayaan pendidikan murah dan lain sebagainya dilakukan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Bangsa Indonesia.



JUDUL : Manifesto Pendidikan Nasional [Tinjauan dari prespektif Postmodernisme dan Studi Kultural]
PENGARANG : H.A.R Tilaar
ALAMAT PENERBIT :PT Kompas Media Nusantara Jl Palmerah Selatan 26-28. Jakarta 10270 E-mail: buku@kompas.com.
CETAKAN: I, November 2005
ISBN : 979-709-227-5
JUMLAH HALAMAN: xvi + 340 hlm; 14x 21 cm
[Buku ini menjelaskan secara jernih terminologi manifesto, barangkali untuk menjernihkan pikir, karena selama ini menifesto di indentikkan dengan stigma buruk. Menurut penulisnya adalah:
Manifesto dalam kosa kata bahasa Indonesia mempunyai konotasi yang negatif karena mempunyai muatan politik. Manifesto biasanya selalau dihubungkan dengan paham komunisme dalam pengertian manifesto komunis yang dideklarasikan pada tahun 1848 oleh Karl Marx dan Friederich Engels.
Namun, kata manifesto mempunyai arti yang netral. Secara harfiah manifesto adalah suatu deklarasi. Dalam baha Jerman manifesto berarti suatu penjelasan atau erklären. Dari kata inilah dijabarkan kata kerja „erklaren“ yang berarti membuat sesuatu penjelasan atau transparan
Selanjutnya Profesor yang beraliran pedagogik libertarian ini, mengiformasikan bahwa Manifesto Pendidikan Nasional [MPN] bukan suatu doktrin, bukan dogma, juga bukan ideologi. MPN merupakan konsep terbuka untuk diskursus. Dengan kata lain merupakan konsep „berlari-lari„ yang mencoba menemukan kebenaran, yaitu kebenaran sementara atau kebenaran yang tertunda. Sebagai kebenaran yang tertunda maka MPN merupakan konsep yang terus-menerus menjadi.
Perubahan [change] merupakan ciri hakiki dari MPN. Inilah bentuk MPN yang berubah secara terukur dan terarah disesuaikan dengan kebutuhan. Dengan kata lain MPN mengenal tonggak-tonggak sebagai bingkai yang mengarahkan manuver perubahan pendidikan nasional antara lain sebagai berikut:


  1. Kesepakatan masyarakat untuk mewujudkan hidup bersama yang bahagia dan berkeadilan
  2. Kondisi masyarakat Indonesia yang multikultural namun bertekad untuk bersatu dalam wadah negara bangsa Indonesia
  3. Masyarakat Indonesia yang dinamis dipacu oleh dinamika kehidupan politik, ekonomi, sosial, budaya dan struktur penduduk
  4. Masyarakat dan bangsa Indonesia dalam kehidupan global antar bangsa.
Manifesto Pendidikan Nasional dalam buku ini, digambarkan sesuatu yang mencakup keseluruhan proses Pendidikan. Yakni meliputi lima bidang utama:
  • hakikat pendidikan;
  • hak memperoleh pendidikan dan hak untuk mendidik
  • proses pendidikan
  • ruang pendidikan
  • pedagogik lebertarian.
Evaluasi Pendidikan juga diteropong:
Menurut buku ini, evaluator yang paling dekat dengan proses pendidikan adalah Guru. Guru adalah orang pertama yang mendampingi peserta didik di dalam proses pemerdekaannya. Di dalam proses evaluasi tersebut guru dapat saja dibantu oleh-alat-alat evaluasi seperti berjenis-jenis tes. Fungsi tes tidak dapat menggantikan fungsi dan tanggung jawab Guru. Selanjutnya fungsi tes sifatnya sesaat tidak dapat mengukur jalannya proses yang meminta waktu panjang. Tes tidak dapat dipergunakan untuk menetukan nasib peserta didik.
Badan Standarisasi Nasional Pendidikan [BNSP] bukanlah merupakan badan yang mengevaluasi kemajuan peserta didik tetapi sebagai badan pemetaan masalah-masalah pendidikan nasional dalam pengambilan kebijakan pendidikan. Pendidik [guru profesional] harus mempunyai kemampuan untuk mengadakan evaluasi terhadap proses pendidikan peserta didik.

Menanggapi Globalisasi terhadap pendidikan tinggi kita :
Untuk dapat menghadapi bukan harus membendung, tapi mengarahkan kekuatan tersebut untuk pengembangan pendidikan tinggi. Prinsip-prinsip yang harus dilakukan adalah dari dalam pendidikan tinggi itu sendiri. “inside out principle”.
Adapun yang dimaksud dengan “inside out principle”, adalah:
Proses belajar dalam lingkungan pendidikan tinggi harus berubah. Proses belajar bukannya mengungkung atau memenjarakan proses berpikir, tetapi justru merupakan proses pembebasan.
Proses belajar sebagai proses pembebasan mahasiswa hendaknya dilengkapi pula oleh peran dosen pendidikan tinggi sebagai fasilitator pembebasan. Para dosen adalah “libertador”.
Di dalam suasan belajar pembebasan tersebut tentunya penghargaan kepada profesi dosen sebagai profesi “libertador” perlu mendapatkan perhatian yang memadai.
Adanya proses belajar yang dialogis dengan menggunkan prinsip Tut Wuri Handayani, kemudian disentuhkan pada wilayah dunia kehidupan, atau bidang-bidang ilmu pengetahuan:


  • Ilmu-ilmu kehidupan[ life sciences]
  • Ilmu kealaman [natural sciences & technology]
  • Informasi [information sciences]
Proses belajar yang dialogis dan eksploratif dan tranformatif, harus didukung dengan :
Buku teks yang murah, baik buku impor maupun terbitan dalam negeri
Pengadaan laboratorium yang lengkap.
Kemitraan yang setara antara PTN dan PTS. Peran PTS dalam perkembangan pendidikan nasional sangat unik. Secara kuantitas PTS selalu menggungguli PTN dan secara kualitas beberapa bidang studi sudah dapatditandingi PTS. Namun masih terasa terlalu besarnya capur tangan pemerintah dalam pemberian otonomi kepada perguruan tinggi, utamanya pada perguruan tinggi swasta [PTS]. Di dalam pengembangan otonomi seharusnya PTN dan PTS berada di dalam suatu flaying field sehingga terjadi perelombaan setara
Menghadapi perubahan global pendidikan tinggi, pengelolaan pendidikan tinggi haruslah mengikuti trend global yaitu efisiensi dan entrepreneurship.

Catatan : Buku ini juga menyediakan Glosari. Namun untuk lebih memberikan inforamsi, warung kami mencuplikan pengertian Pedagogik Libertarian, ini dimunculkan karena Penulis buku ini, Prof. Dr. Tilaar, mengaku dirinya sebagai penganut Pedagogik Libertarian.

Pedagogik Libertarian:
Orientasi pedagogik libertarian bertolak dari pandangan pendidikan adalah proses penyadaran akan kebebasan individu dalam berefleksi dan bertindak. Di dalam kenyatannya lembaga pendidikan [sekolah] telah menjadi penjara bagi kebebasan individu. Dengan kayta lain lembaga pendidikan telah menjadi alat penguasa untuk melestarikan kekuasaannya . Proponen orientasi pedagogik libertarian seperti Paulo Freire, Alexander S. Niel, Ivan Illich, Wihelm Reich, Tilaar.
Pedagogik libertarian yang menghormati akan kemerdekaan individu serta melihart perkembangan peserta didik di dalam budayanya secar kritis dan terarh, maka pedagogik libertarian mengadopsi secara kritis pandangan-pandangan postmodern dan studi kultural]
Warung kami juga menyimpan buku yang selaras dengan bahasan diatas:
JUDUL : Usulan Paideia [Suatu Manifesto Pendidikan]
PENGARANG : Moertimer J. Adler
PENERBIT : PT. Djambatan Jakarta
CETAKAN : I. 1986
ISBN :

No comments: