SILA CARI DI SINI!

Google

Friday, January 11, 2008

SEKOLAH MATI, PENDIDIKAN ALMARHUM, PENGAJARAN=SUBVERSIF

Sebenarnya sinisme ini sudah lama timbul, mulai akhir abad XX hingga kini serasa semakin deras. Lahirnya bermacam-macam aliran pendidikan khususnya mempermasalahkan pendidikan dalam hubungannya dengan kehidupan masyarakat dunia di belahan Negara kurang maju. Sinisme terbangun secara signifikan ketika pendekar-pendekar yang arief terhadap pendidikan, muncul secara mengglobal antara lain:
  1. Philip H. Coombs yang menghubungkan pendidikan nonformal dengan peanggulangan kemiskinan di daerah miskin
  2. Ivan Illich yang menggambarkan adanya masyarakat bebas dari ikatan-ikatan pendidikan sekolah
  3. Paulo Freire yang menganggap sekolah sebagai tempat pendidikan rakyat terindas
  4. Everett Reimer yang menganalisis pendidikan sekolah pada kematiannya.
  5. Neil Postman mencermati pendidikan formal yang mulai melenceng dari hakikatnya sehingga perlu redifinisi, bahkan melihat lebih cermat, bahwa aktivitas mengajar adalah tindakan subversif.

Warung kami secara kebetulan memiliki buku-buku yang terkait dengan problema diatas, maka sajian kali ini memaksa warung sinis terhadap pendidikan formal.
Buku yang ada di warung antara lain:

JUDUL : Bebaskan Masyarakat dari Belenggu Sekolah
PENGARANG : Ivan Illich
PENERBIT : Obor Jakarta Jl.Plaju No. 10 Jakarta 10230 Telp:[021] 324488; 326978. E-mail : obor@ub.net.id
CETAKAN : Agustus 2000
ISBN : 979-461-356-8
JUMLAH HALAMAN: 165
[Salah satu bab ini menulis,” Mengapa Sekolah harus dilucuti dari kemapanannya ?
Menurut Ivan Illich, karena banyak murid, khususnya yang miskin, secara intuitif tahu, bila sekolah membuat mereka tidak mampu membedakan proses dari subsatansi. Proses dan substansi dicampuradukkan. Akibatnya murid menyamakan begitusaja pengajaran dan belajar, naik kelas dengan pendidikan, ijazah dengan kemampuan, dan kefasihan berceloteh dengan kemampuan mengungkapkan sesuatu yang baru. Anak dibiasakan menerima pelayanan, bukanya nilai-nilai.
Sekolah dari namanya cenderung menyita seluruh waktu dan tenaga guru maupun murid. Inilah yang mengkondisi guru menjadi pengawas, pengkotbah, dan seakan-akan ahli dalam terapi.
Ritualisasi kemajuan membuahkan lulusan universitas didik untuk menjalani tugas pilihan melayani orang-orang kaya di dunia. Sekolah juga yang menciptakan “mitos Konsumsi Tanpa Henti” [Myth of Unending Consumption]. Mitos modern ini didasarkan pada sebuah keyakinan bahwa proses tersebut akan mereproduksi murid pada pemikiran yang salah.
Misalnya :

  1. Mitos pengukuran nilai, maka akan ditanamkan disekolah bahwa nilai selalu dikuantifikasikan. Sekolah memasukkan orang muda ke suatu dunia di mana segala sesuatu dapat diukur. Termasuk imajinasi mereka, dan juga manusia itu sendiri.
  2. Mitos Paket Nilai, sekolah menjual kurikulum – sebundel materi yang dibuat menurut proses yang sama dan mempunyai struktur yang sama sebagaimana barang dagangan lainnya
  3. Mitos Kamajuan Abadi, anehnya ketika prestasi belajar menurun, biaya pendidikan per kepala justru semakin meningkat. Siswa digenjot, ketingkat konsumsi kurikulum kompetitif, tentunya berkonsekuensi pada penggeluaran yang lebih tinggi. Maka kemajuan abadi hanya pada segmen naiknya pembiayaan
  4. Mitos Ritual, sekolah berfungsi sebagai pencipta dan penunjang yang efektif atas mitos sosial karena strukturnya sebagai sebuah permainan ritual untuk kenaikkan berjenjang. Masuk ke dalam ritus penuh pertaruhan dianggap lebih penting dibanding dengan apa atau bagaimana sesuatu diajarkan.
    Inillah sebagian yang diianggap belenggu oleh Ivan Illich]
JUDUL : Mengajar Sebagai Aktivitas Subversif
PENGARANG : Neil Postman + Charles Weingartner
PENERBIT : Jendela Grafika Yogyakarta Jl Kutu Wates RT.08 RW 10 MT. I/83 Yogyakarta 55284 Telp. [0274]-624145 . E-mail: jendela_press@kompascyber.com.
CETAKAN : September 2001
ISBN : 979-95978-24-X
JUMLAH HALAMAN: 365

[Buku ini memperingatkan bahwa perubahan terus menerus ada, dan semakin cepat serta ada dimana-mana, Hal itu merupakan karakteristik yang paling mencolok pada dunia di mana kita berada. Sayangnya system pendidikan kurang bahkan belum mengakui kenyataan ini. Seharusnya kita mendesain lingkungan-lingkungan sekolah yang bisa membantu kaum muda untuk mampu menguasai konsep-konsep yang penting untuk bisa tetap hidup dalam dunia yang terus berubah cepat.
Sebuah institusi yang kita sebut “sekolah” adalah institusi yang kita maksudkan untuk tujuan seperti di atas dan karena itulah kita menciptakannya. Beberapa pakar membuat pertanyaan menukik terkait apa yang dilakukan oleh sekolah, dan aktivitas ini disebut kurang relevan:
  • Marshal McLuthan; apabila sekolah ini ternyata memberi benteng kepada anak-anak sehingga mereka terpisah pada realitas
  • Norbert Wiener ; apabila sekolah ternyata mengajarkan kekunoan.
  • Jhon Gardener; apabila ternyata sekolah tidak mengembangkan kecerdasan
  • Jerome Burner; apabila ternyata sekolah itu didasarkan pada rasa takut,
  • Jhon Holt; apabila ternyata sekolah menghilangkan peningkatan proses-proses pembelajaran penting
  • Carl Rogers; apabila ternyata sekolah menyebabkan keterasingan
  • Paul Godman; apabila sekolah itu menghukum kreativitas dan independensi
  • Edgar Friedenberg; apabila ternyata sekolah itu tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan.
    Dari berbagai pemikiran ini, sasaranya adalah bagaimana sekolah bisa diubah, bahkan dipaksa harus diubah.

Buku ini memberikan penekanan kepada semua orang agar yakin, bahwa sekolah dapat diubah, karena di dunia ini banyak orang bijak dan cerdas. Apabila hal tersebut dilakukan maka sekolah tetap pada hakikatnya yakni sekolah merupakan bagian dari proses demokrasi.
Buku ini juga membantu para pendidikan dan pemerhati pendidikan agar tidak masuk dalam ranah subversive. Panduan dalam bentuk kalimat interogatif, selengkapanya sebagai berikut:

  1. Apakah pertanyaan-pertanyaan Anda akan meningkatkan kemampuan belajar juga kemampuannya untuk belajar?
  2. Apakah pertanyaan-pertanyaan Anda akan memberi pegertian tentang kegembiraan dalam belajar?
  3. Apakah pertanyaan-pertanyaan Anda akan membantu memberikan kepercayaan diri kepada para siswa atas kemampuan dia untuk belajar?
  4. Apakah setiap pertanyaan itu memberikan peluang adanya jawaban-jawaban alternative (yang secara tidak langsung merupakan bentuk-bentuk penelitian alternative)
  5. Apakah proses dalam menjawab pertanyaan itu akan cenderung menekankan keunikan dari pelajar?
  6. Apakah pertanyaan-pertanyaan itu akan menghasilkan jawaban-jawaban yang berbeda apabila dinyatakan pada tingkatan-tingkatan perkembangan pelajar yang berbeda?
  7. Apakah jawaban-jawaban itu akan membantu pelajar untuk untuk mengerti dan memahami semester dalam kondisi manusia dan mempertinggi kemamp[uannya untuk melihat lebih dekat dan mendekatkan pada orang lain.
    Apabila jawaban –jawab itu adalah “ya”, berat semata dan tidak masuk ke dalam ranah subversive]

JUDUL : Matinya Pendidikan
PENGARANG : Neil Postman
PENERBIT : Jendela Grafika Yogyakarta Jl Kutu Wates RT.08 RW 10 MT. I/83 Yogyakarta 55284 Telp. [0274]-624145 . E-mail: jendela_press@kompascyber.com.
CETAKAN : Agustus 2001
ISBN : 979-95978-17-1
JUMLAH HALAMAN: 365
[Dalam pandangan Postman proyek-proyek edukasi tidak identik dengan praktik-praktik pendidikan di sekolah. Pendidikan di sekolah bisa jadi sangat konservatif, terutama karena sekolah lebih berperan sebagi tembok pembatas daripada ruang yang lapang untuk pergerakan pemikiran. Proses pendidikan di sekolah bagi para siswa tampak sebagai sosok yang tidak mengenal belas kasihan. Harapan Postman menulis buku ini agar dapat menghasilkan perubahan-perubahan pendidfikan. Judul asli buku ini adalah The End of Education, dan kata end (dalam bahasa Inggris) dapat diartikan ganda : ”tujuan: dan ”akhir” atau Mati. Dari judul ini memang dikesankan ambigu agar masa depan sekolah menjadi pilihan, maju atau almarhum.]


JUDUL : Matinya Sekolah
PENGARANG : Everett Reimer
PENERBIT : PT Hanindita Graha Widia Yogyakarta
CETAKAN : Agustus 2000
ISBN : 979-8849-14-0
JUMLAH HALAMAN: 150
[Karya Reimer ini layak kita kaji dengan sungguh-sungguh penuturannya, yang terselip dibalik tulisannya ternyata bukanlah bermaksud membunuh sekolah, akan tetapi niatannya adalah ingin melalukan totalitas pembenahan. Membenahi dari berbagai dimensi, mulai dari keberadaan dan fungsi sekolah yang seharusnya. Pencermatan cerdas dan kritis seorang Riemer sebenarnya diarahkan kepada persekolahan yang berada di Benua Amerika Selatan, kendatipun karateristik Amerika Selatan tidak sama persih dengan Indonesia, karya Riemer layak dapat digunakan patok duga (Benchm). Ide penulisan buku ini banyak dinuansai oleh perjumpaan Riemer dengan Ivan Illich sebagai seorang yang dianggap kritikus pendidikan modern. Pengantar buku ini membuka pemahaman awal bahwa disadari atau tidak, peradaban manusia modern saat iniu terkungkung dalam penjara suatu sistem kelembagaan yang disebut sekolah. Melencengnya hakikat sekolah dikedepankan, pada hakikatnya sekolah harus menguntungkan masyarakat mayoritas, namun jatuhnya hanya memberikan prilege dan elitis tertentu. Selama 15 tahun Riemer berdiskusi dengan Ivan Illich ketika dalam satu aktivitas di Puerto Rico.
Waktu belajar [time studi] adalah salah satu fenomena yang dicermati ketika di Puerto rici, dirujuk dari hasil penelitian Anthony Laurie menujukkan bahwa kurang dari 20% waktu seorang-orang guru tersedia untuk aktivitas-aktivitas pengajaran. Sisa waktunya dihabiskan untuk mengawasi tingkah laku siswa dan tugas administratif.
Kita harus sadar pada hakikatnya sekolah atau bersekolah adalah adat sosial, yang menutup jurang antara teori sosial dan praktik sosial . Dalam pengertian psikologis, adat memungkinkan orang mencapai idealitas di sekolah, kenyataan justru bertolak belakang. Inilah yang mengkondisi Reimer menorehkan gagasanya bahawa School is Dead.

1 comment:

Anonymous said...

(Dikutip dari: Harian RADAR Banjarmasin, Jum’at 2 Mei 2008)

Strategi Pendidikan Milenium III
(Tengkulak Ilmu: Rabunnya Intelektual Ilmiah)
Oleh: Qinimain Zain

FEELING IS BELIEVING. MANUSIA adalah binatang yang menggunakan peralatan. Tanpa peralatan, ia bukan apa-apa. Dengan peralatan, ia adalah segala-galanya (Thomas Carlyle).

DALAM momentum peringatan Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei 2008, sangat tepat berbenah diri. Banyak kalangan menilai betapa rendahnya kualitas sumber daya manusia Indonesia dibanding bangsa lain. Ini ditandai dengan produktivitas kerja rendah sehingga ekonomi lemah, karena tidak efesien, efektif dan produktif dalam mengelola sumber daya alam yang meski begitu melimpah.

Lalu, mengapa kualitas sumber daya manusia Indonesia rendah?

KAPITAL manusia adalah kekayaan sebuah bangsa dan negara, sama halnya seperti pabrik, perumahan, mesin-mesin, dan modal fisik lainnya. Diakui dimensi teknologi, strategi, aliansi global dan inovasi merupakan komponen penting yang akan mempengaruhi keuggulan kompetitif pada masa depan. Namun demikian, komponen itu masih bergantung pada kembampuan manusia (Gary S. Becker).

Dalam ilmu matematika ada acuan dasar sederhana penilaian apa pun, yaitu posisi dan perubahan. Jadi, jika bicara kemajuan pendidikan kualitas sumber daya manusia Indonesia adalah berkaitan di mana posisinya dan seberapa besar perubahannya dibanding bangsa lain di bidangnya.

Berkaitan dengan perubahan, ada dua cara posisi untuk unggul yaitu bertahan dengan keunggulan lokal dengan fungsi terbatas atau menyerang dengan keunggulan global dengan fungsi luas. Misal, menjadi ahli orang hutan Kalimantan yang endemik, atau menjadi ahli kera seluruh dunia. Jelas, sangat sulit menjadi unggul satu keahlian untuk global diakui secara global, sedang unggul keahlian untuk lokal diakui secara global pun - seperti tentang orang hutan Kalimantan (apalagi tentang gorila), didahului orang (bangsa) lain. Ini terjadi disemua bidang ilmu. Mengapa?

Indonesia (juga negara terkebelakang lain) memang negara yang lebih kemudian merdeka dan berkembang, sehingga kemajuan pendidikan pun belakangan. Umumnya, keunggulan (sekolah) pendidikan di Indonesia hanya mengandalkan keunggulan lisensi, bukan produk inovasi sendiri. Contoh, sekolah (dan universitas) yang dianggap unggul di Kalimantan bila pengajarnya berasal menimba ilmu di sekolah (dan universitas) unggul di pulau Jawa (atau luar negeri). Sedang di Jawa, pengajarnya berasal menimba ilmu di luar negeri. Jika demikian, pendidikan (ilmu pengetahuan dan teknologi) Indonesia atau di daerah tidak akan pernah lebih unggul di banding pusat atau luar negeri. (Ada beberapa sekolah atau universitas yang membanggakan pengajarnya lulusan universitas bergengsi atau menonjolkan studi pustaka di Jawa dan luar negeri. Artinya, ini sekadar tengkulak atau makelar (broker) ilmu dan teknologi). Dan memang, selalu, beban lebih berat bagi apa dan siapa pun yang terkebelakang karena harus melebihi kecepatan lepas (velocity of escape), kemampuan kemajuan yang unggul di depan untuk menang. Perlu kemauan keras, kerja keras dan strategi tepat mengingat banyak hal terbatas.

WALAUPUN Anda berada pada jalan yang benar, maka akan tergilas jika Anda cuma duduk di sana (Will Roger).

Lalu, mengapa otak orang lain unggul? Ada contoh menarik, Sabtu 30 Juli 2005 lalu, Michael Brown dari California Institute of Technology mengumumkan “Keluarkan pena. Bersiaplah menulis ulang buku teks!”. Astronom Amerika Serikat ini, mengklaim menemukan planet ke-10 dalam sistem tata surya yang diberi nama 2003-UB313, planet terjauh dari matahari, berdiameter 3.000 kilometer atau satu setengah kali dari Pluto. Planet ini pertama kali terlihat lewat teleskop Samuel Oschin di Observatorium Polmar dan teleskop 8m Gemini di Mauna Kea pada 21 Oktober 2003, kemudian tak nampak hingga 8 Januari 2005, 15 bulan kemudian.

Sebuah penemuan kemajuan ilmu pengetahuan luar biasa, yang sebenarnya biasa saja dan mungkin terjadi di Indonesia andai ilmuwannya memiliki alat teleskop serupa. Tanpa teleskop itu, ketika memandang langit mata kita rabun, sehingga yang terlihat hanya langit malam dengan kerlip bintang semata. Sejarah mencatat, ilmuwan penemu besar sering ada hubungan dengan kemampuannya merancang atau mencipta alat penelitian sendiri. Tycho Brahe membuat sekstan (busur derajat) pengamatan benda langit, Johannes Kepler dengan bola langit sebagai peta astronomi, Isaac Newton membuat teleskop refleksi pertama yang menjadi acuan teleskop sekarang, atau Robert Hooke merancang mikroskop sendiri. Dan, alat teknologi (hardware) pengamatan berjasa mendapatkan ilmu pengetahuan ini disebut radas, pasangan alat penelitian (software) pengetahuan sistematis disebut teori.

ILMUWAN kuno kadang menekankan pentingnya seorang ilmuwan membuat alat penelitian sendiri. Merancang dan membuat sesuatu alat adalah sebuah cabang keahlian ilmiah (Peter B. Medawar).

Lalu, sampai di manakah perkembangan ilmu pengetahuan (dan teknologi) di negara lain? Untuk (ilmu) pengetahuan sosial, di milenium ketiga kesejajaran dan keterpaduannya dengan ilmu pengetahuan alam, hangat di berbagai belahan dunia. Di ujung tahun 2007 lalu, Gerhard Ertl, pemenang Nobel Kimia tahun itu, kembali mengemukakan bahwa ilmuwan harus menerobos batasan disiplin ilmu untuk menemukan pemecahan beberapa pertanyaan tantangan besar belum terjawab bagi ilmu pengetahuan yaitu ilmu pengetahuan menyatu seiring waktu. Banyak ilmuwan peserta forum bergengsi itu menjelaskan tugas penting ke depan yang harus diselesaikan berkenaan masalah batas, batasan atau titik temu pada dua atau lebih disiplin ilmu. Kemudian sejalan itu, tanggal 28 – 30 Maret 2008 lalu, di Universitas Warwick, Warwick, Inggris, berlangsung British Sociological Association (BSA) Annual Conference 2008, dengan tema Social Worlds, Natural Worlds, mengangkat pula debat perseteruan terkini yaitu batas, hubungan dan paduan (ilmu) pengetahuan sosial dan ilmu pengetahuan alam dalam pengembangan teori (ilmu) sosial dan penelitian empiris, mencoba menjawab pertanyaan kompleks yang selalu mengemuka di abad ke 21 dalam memahami umat manusia. Berikutnya, tanggal 2-5 Desember 2008 nanti, akan digelar The Annual Conference of The Australian Sociological Association (TASA) 2008, di Universitas Melbourne dengan tema Re-imagining Sociology.

Ini peluang momentum besar (yang hanya satu kali seumur dunia) bagi siapa pun, baik universitas atau bangsa Indonesia untuk berlomba memecahkan masalah membuktikan kemajuan, keunggulan dan kehormatan sumber daya manusianya di milenium ketiga ini. (Dari pengalaman, pandangan rendah bangsa lain terhadap Indonesia (dan pribadi), tergantung kualitas kita. Kenyataannya, ilmuwan besar di universitas besar di benua Eropa, Amerika, Afrika, Asia dan Australia pun, dengan rendah hati mau belajar (paradigma Total Qinimain Zain: The (R)Evolution of Social Science: The New Paradigm Scientific System of Science dengan saya) selama apa yang kita miliki lebih unggul dari mereka.

SUMBER daya manusia harus didefinisikan bukan dengan apa yang sumber daya manusia lakukan, tetapi dengan apa yang sumber daya manusia hasilkan (David Ulrich).

Akhirnya, di manakah tempat pendidikan terbaik belajar untuk unggul secara lokal dan global di banding bangsa lain? Di University of Reality di kehidupan sekitar! Dengan syarat (mencipta dan) memiliki alat teknologi (hardware) atau alat teori (software) hebat sendiri. Jika tidak, semua mata intelektual ilmiah rabun, karena belajar dan memahami kehidupan semesta dengan otak telanjang adalah sulit bahkan mustahil, sama halnya mencoba mengamati bintang di langit dan bakteri di tanah dengan mata telanjang tanpa teleskop dan mikroskop. Sekarang rebut peluang (terutama untuk akademisi), bangsa Indonesia dan dunia krisis kini membutuhkan Galileo Galilei, Francis Bacon, dan Rene Descartes muda. Jika tidak, akan hanya menjadi tengkulak ilmu, dan harapan memiliki (serta menjadi) sumberdaya manusia berkualitas lebih unggul daripada bangsa lain hanyalah mimpi. Selamanya.

BODOH betapa pun seseorang akan mampu memandang kritis terhadap apa saja, asal memiliki peralatan sesuai tahapan pemahaman itu (Paulo Freire)

BAGAIMANA strategi Anda?

*) Qinimain Zain – Scientist & Strategist, tinggal di Banjarbaru, Kalsel, email: tqz_strategist@yahoo.co.id (www.scientist-strategist.blogspot.com).