SILA CARI DI SINI!

Google

Sunday, December 30, 2007

DEWARUCI: INSTRUMENTASI PEMBELAJARAN TOTALITAS HIDUP.

DEWARUCI
Ide awal mengetengahkan serat Dewa Ruci ini, terinspirasi dari hasil dialog pemilik warung dengan seorang-orang yang tekun mencermati budaya nusantara, Drs. Masini Atmadji. Dari dialog terpetik suatu simpulan bahwa proses pendidikan dan pengajaran itu sebenarnya adalah sebuah proses mencari kesempurnaan hidup. Dengan pendidikan dan pengajaran akan membuahkan sosok manusia yang mampu mengatasi segenap rintangan yang menghadang. Artinya semakin paripurna seorang-orang menuntaskan pendidikan, maka semakin dekat pula kemampuan orang itu dalam mengantisipasi dan menyelesaikan permasalahan. Dalam kebudayaan Nusantara, sebenarnya banyak instrumentasi pembelajaran hidup, misalnya di Tanah Jawa, wayang dalam ceriteranya selalu memberikan pembelajaran untuk membuka wawasan. Dari persoalan yang sumir hingga yang memiliki komplektisitas yang tinggi, mampu diteropong dan diurai dfari berbagai dimensi.
Lebih konkrit Doktorandus Ki Masini Atmadji, mencontohkan perjalananan Bima Sena dalam mencari kesempurnaan hidup, yang semuanya terkupas tuntas dalam “Serat Dewa Ruci”. Inilah yang mengantarkan warung kami mencari dan mencari buku-kubu yang terkait dengan “Dewa Ruci”
Serat Dewa Ruci dalam pemaparannya terdiri dari dua segmen, pertama yang menggambarkan Bina Sena, dalam mengarungi hidupanya dalam wadah “duniawi”, yakni ketika berperilaku selalu berhadapan dengan problem-problem duniawi. Segmen ini digambarkan dalam ceritera “Bima Sakti”, teropong Islami mengkategorikan Bima dalam tahapan tahrikat. Segmen selanjutnya menggambarkan Bima Sena dalam proses pembelajaran yang penuh dengan alam “ruh”, sehingga perilau kautamaan tergambar secara rinci dalam segmen ini, sehingga segmen ini adalah berfukus pada ceritera “Bima Suci”

Segmen pertama “Bima Sakti”, adalah menggambarkan perjalanan Bima untuk memasuki dunia akademi dalam satu Universitas yang Guru Besarnya adalah Hyang Resi Drona. Kuliah yang diberikan mengarah kepada pencapaian hidup. Sang Bima Sena diwajibkan mencari “tirta perwita “, degan segera titah sang guru besar diikuti, maka dibongkarlah gunung Reksamuka. Di gunung inilah Bima bertemu dengan dua raksasa yakni Rukmuka dan Rukmakala yang menghalangi maksudnya, pertarungan jelas sulit dihindari karena maksud yang berbeda. Akhirnya dua raksasa dapat dihalau dan mati keduanya mati, ternyata keduanya adalah jelmaan dewata. Raksasa itu sebenarnya sebuah kiasan simbolik, Rekmuka menggambarkan bentuk nafsu pancaindera yang cenderung membawa kesesatan manusia, sedangkan Rakmakala melambangkan alam pikirana manusia yang sering lepas kendali [out of control] sampai membahayakan dirinya atau orang lain. Inilah gambaran pembelajaran bahwa manusia untuk mencapai totalitasnya selalu menghadapi ATHG-Ancaman Tantangan Hambatan dan Gangguan, dengan berbagi dimensinya.

Segmen Kedua, Bima Suci.
Supaya cita-cita sang Bima Sena tercapai, jelmaan dewata, mempersilahkan Bima untuk kembali ke sang Guru Besar Resi Drona untuk menanyakan kembali letak sesungguhnya “Tirta Perwita Sari”. Kemudian Bima mencari Tirta Perwita Sari ke dalam lautan, kendati dicegah saudara-saudaranya, tekadnya tidak dapat diurungkan.
Ketika Bima berada di Lautan, tiba-tiba ular besar menggigit dirinya, sontak kuku pancanaka di tusukkan pada pada ular itu. Matilah si ular tersebut, dan bersamaan itu Bima ikut mati.
Perjalanan ruh Bima inilah yang mensiratkan pembelajaran hidup, menurut Dr. Purwadi, M.Hum, perjalanan ini mirip dengan proses terjadinya Isra’ Mi’raj Nabi Besar Muhammad. SAW.
Perjalanan ruh ini, tergambarkan melalui dialog antara Dewa Ruci dengan Bima, kemudian Bima dalam perjalanan rochaninya melihat 5 macam cahaya yang saling bersaing, fenomena ini ditangkap sebagai gambaran simbolik panca indera yang cenderung ingin memuaskan hawa nafsu.
Dewa Ruci memberi pelajaran bermacam-macam tentang asal muasal kehidupan, sehingga Bima merasa pada wilayah alam yang indah, permai, dan mulia. Kebahagian menyelimuti bathin sang Bima Sena, sehingga enggap kembali ke dunia, Namun Dewa Ruci tidak memperkenankan, karena Bima masih memiliki kewajiban sosial di dunia, untuk melakukan amalan dan memberantas kemungkaran.

MAAF, WAR-WAR [Warning Warung]. Kami tidak akan menguraikan secara tuntas, karena akan melanggar visi kami, disamping akan mencundangi penerbit dan Haki Penulis. Kami hanya menstimuli, silahkan perdalam dengan mencari-dan mencari buku yang terkait dengan dewa ruci

Warung kami telah mengkais-kais di komunitas buku lawas, depan stasion Kereta Api Kota Baru Malang, diperoleh buku sbb:

JUDUL : Dewa Ruci [tulisan huruf Jawa]
PENGARANG: Empu Widayoko
PENERBIT : Tan Koen Swie, Kediri
CETAKANKAN : 1929
ISBN :
JUMLAH HALAMAN:56
[Buku ini dilihat fisiknya sangat tua sekali, dan ada beberapa yang telah robek, namun robekan buku ini tetap tersimpan. Buku ini pernah dimilki seorang-orang bernama Hendratman terbaca dari tanda tangannya. Dan tertera tanggal pemilikan 1 Janurai 1941.
Didalam buku ini sepertia biasa, terdapat photo penerbitnya yakni, Pak Tan Koen Swie. Kemudian pada halaman 41 terdapat photo Padoeka Jm.M.Ng. Mangoenwidjaia- Wono Giri Solo]

JUDUL : Kitab Dewa Roetji
PENGARANG: Empu Widayoko
PENERBIT : Tan Koen Swie, Kediri
CETAKANKAN : 1929
ISBN :
JUMLAH HALAMAN:32
[Dalam buku ini diriwayatkan bahwa sebelumnya penulisannya memakai bahasa kawi, buah pikir dari Empu Widayaka di negeri Mamenang, yakni Kediri. Empu Widayaka itu adalah Hajisaka, ketika masa kecilnya bernama Jaka Sengkala, potera dari Empu Hangga Hajisaka. Ibunya bersala dari negeri Najran Arab. Hajisaka adalah murid dari Maulana Usman Ngajid Arab]

JUDUL : Serat Dewaruci [Ilmu Kasampunan]
PENGARANG: Dr. Purwadi. M. Hum
PENERBIT : Panji Pustaka Yogyakarta
CETAKANKAN : Juli 2007
ISBN : 979-25-2727-3
JUMLAH HALAMAN:300
[Menurut penulisnya, Serat Dewaruci adalah salah satu karya Yasadipura I yang amat terkenal. Ia merupakan salah satu tokoh sastrawan yang amat penting dalam masa pengubahan karya-karya berbahasa Jawa Kuno ke dalam bahasa Jawa Buru. Pujangga besar Yasadipura I lahir di Pengging Tahun 1729, Nama lainnya adalah Bagus Banjar, Jaka Subuh dan Jenal Ngalim. Penuturan Dr. Purwadi. M Hum, dari serta Dewa Ruci dipetik simpulan sbb:
1 Berguru kepda sarjana sujana bernama Pandhita Drona
1 Patuh, teguh, kukuh melkasankan perintah guru tanpa ragu-ragu
1 Menghancurkan huta Tikbrasana dan mampu menyingkarkan penghalang dalam mencari air hidup
1 Meruwat Dewa Bayu dan Dewa Indra sebagai amal saleh
1 Kembali berguru, tidak putus asa bertanya Drona
1 Menyingkirkan dan meninggalkan “saudara’ yang merintangi tujuannya
1 Terjun ke samudra, ilmu makrifat Minang Kalbu dengan berani tanpa was sumelang
1 Membunuh naga Nemburnawa, yang berat Bima membunuh semua nafsu dan kenikmatan duniawi
1 Mati Jroning urip dan menyerah secara ikhlas Kepada Tuhan
1 Bertemu Dewaruci untuk menerima Cahaya Tuntunannya
1 Manunggal dan berdialog untuk menerima hasil jerih payahnya berupa air hidup. ]

1 comment:

Unknown said...

salam.
saya kenyot adisattva.
saya sangat erminat dan membutuhkan buku2 tentang dewa ruci untuk refrensi skripsi saya.
sangat bungah hati sekiranya ada saudara yang bisa membantu meminjamkan bukunya, atau apapun bentuknya.

kenyot adisattva (Face Book)
adi_satva@yahoo.co.id