Seorang orang bernama Muhammad Suhaidi- Pemerhati Budaya Madura dan Direktur Pena Institute Madura, menuliskan pandangannya di Forum, halaman D, Harian Kompas Jumat 14 Desember 2007. Judul yang diketengahkan adalah Orang Madura dan Komitmen Religius “Ongge” Haji.Dalam tulisan awalnya membeberkan sebuah pandangan, bahwa ciri kental orang Madura adalah sebuah lebeling sebagai masyarakat religius, kemudian juga dipaparkan bahwa selalu komitmen alias berpegang teguh pada tradisi. Bagi masyarakat Pulau Garam ini menjaga tradisi adalah roh dinamis dalam kehidupan sebuah komunitas
Warung ini ingin menghendus persoalan Haji, terkait dengan etnis yang ada di Nusantara, dan secara kebetulan Muhammad Suhaidi membahasnya untuk segmen Orang Madura Naik Haji. Karena warung kami memiliki visi mengangkat buku tematik, maka pembahasan akan dicuplikkan beberapa koleksi yang tersimpan di warung kami, dengan harapan punya citarasa etnik naik haji
“Kapan saja, dimana saja Orang Madura harus naik haji”.
Madura dalam dinamika masyarakatnya tergolong sebagai zone yang memiliki ikatan keagamaan yang luar biasa. Tentunya agama Islam.
Di Madura inilah nilai-nilai Islam acapkali dijadikan bahan di rujukan sebagai fungsi struktur sosial. Kentalnya tradisi religius sekaligus melambangkan tingkat komitmen komunitas. Tentunya jargon dan lambang harus melengkapinya, misalnya persoalan yang terkait dengan ibadah Haji. Rasanya kurang komplit bagi orang Madura tanpa sebutan Pak Haji, alias “Kak Tuan”.
Ongge haji, atau menunaikan ibadah haji [ongge=naik]. Adalah mimpi yang terukur bagi seorang-orang yang mengakui dirinya sebagai etnis Madura, bahkan pada tulisan Suhaidi dipaparkan asumsi polos sebagai berikut:
“la pola andhi’ paste bisa ka bere’ [barat = tanah suci], sengko’ alakowah tada’ laen ma’ pola bisa ongke haji, dhina mon kun dunnyah sing penting tekkah ke Mekka, mon kun dunnyah bisa alakoh pole”.
Menggambarkan suatu tekad sekaligus motivasi untuk bisa mengunjungi Mekkah, inilah yang menjadikan Arousal/ driver, tekad yang tinggi hingga cita-citanya tercapai. Membangun rasa percaya diri inilah menjadi penting bagi Orang Madura, bahkan sangat bagus dijadikan motivasi siapa saja. Banyak etnis Jawa menggunakan adigium, kalau ingin naik Haji belajarlah dari orang Madura.
Haji juga dijadikan predikat sosial, bagi suku yang terkenal bersemangat dalam kerja ini. Bagi dirinya orang yang telah merampungkan rukum Islam kelima ini, serta merta akan meneguk pretise yang luar biasa, status sosialnya seketika juga terangkat, dan menjadi pembicaraan posistif di masyarakatnya.
Hingga saat ini, menurut warung kami buku-buku yang membahas “orang Madura naik Haji belum juga ada. Koleksi warung kami menyimpan buku naik haji yang terkait dengan etnis di Indonesia sangat menim sekali, tapi ada, yakni:
(1). Orang Batak Naik Haji, yang ditulis oleh Baharudin Aritonang
(2). Orang Jawa Naik Haji + Umroh, oleh Danarto.
Di Madura inilah nilai-nilai Islam acapkali dijadikan bahan di rujukan sebagai fungsi struktur sosial. Kentalnya tradisi religius sekaligus melambangkan tingkat komitmen komunitas. Tentunya jargon dan lambang harus melengkapinya, misalnya persoalan yang terkait dengan ibadah Haji. Rasanya kurang komplit bagi orang Madura tanpa sebutan Pak Haji, alias “Kak Tuan”.
Ongge haji, atau menunaikan ibadah haji [ongge=naik]. Adalah mimpi yang terukur bagi seorang-orang yang mengakui dirinya sebagai etnis Madura, bahkan pada tulisan Suhaidi dipaparkan asumsi polos sebagai berikut:
“la pola andhi’ paste bisa ka bere’ [barat = tanah suci], sengko’ alakowah tada’ laen ma’ pola bisa ongke haji, dhina mon kun dunnyah sing penting tekkah ke Mekka, mon kun dunnyah bisa alakoh pole”.
Menggambarkan suatu tekad sekaligus motivasi untuk bisa mengunjungi Mekkah, inilah yang menjadikan Arousal/ driver, tekad yang tinggi hingga cita-citanya tercapai. Membangun rasa percaya diri inilah menjadi penting bagi Orang Madura, bahkan sangat bagus dijadikan motivasi siapa saja. Banyak etnis Jawa menggunakan adigium, kalau ingin naik Haji belajarlah dari orang Madura.
Haji juga dijadikan predikat sosial, bagi suku yang terkenal bersemangat dalam kerja ini. Bagi dirinya orang yang telah merampungkan rukum Islam kelima ini, serta merta akan meneguk pretise yang luar biasa, status sosialnya seketika juga terangkat, dan menjadi pembicaraan posistif di masyarakatnya.
Hingga saat ini, menurut warung kami buku-buku yang membahas “orang Madura naik Haji belum juga ada. Koleksi warung kami menyimpan buku naik haji yang terkait dengan etnis di Indonesia sangat menim sekali, tapi ada, yakni:
(1). Orang Batak Naik Haji, yang ditulis oleh Baharudin Aritonang
(2). Orang Jawa Naik Haji + Umroh, oleh Danarto.
(3). Mbah Suro Naik Haji, oleh Drs. H. Imam Suroso
Kalau tidak salah ingat ketika tahun 1979 juga telah terbit buku Orang Jawa naik haji, tapi karena kelemahan arsip warung kami, hilang tak berbekas. Kemudian juga ada kabar tulisan yang terkait dengan Orang Makasar naik Haji, hingga saat ini masih menjadi buruan warung kami.
BAGAIMANA DENGAN BUKU ORANG BATAK NAIK HAJI?
Buku ini ditulis Oleh Baharudin Aritonang, orang Padangsidempuan, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Anggota Dewan yang pernah menjadin peneliti di LIPI, Juga mantan pegawai Negeri di Departemen Kesehatan RI. Tulisannya mengalir, karena pengalamannya menulis tidak diragukan, apalagi alumnus Farmasi UGM ini adalah dedengkot redaktur majalah Medika.
Pengantar Buku bertajuk Orang Batak naik haji ini, diberikan oleh seorang Guru Besar, Prof. Dr. Komaruddin Hidayat. Di Bagian sampul belakang buku tertulis pula pendapatnya, antara lain:
“Apa yang aneh jika orang Batak, naik haji sehingga harus diangkat dalam buku ini?”
Berbeda pada umumnya orang Jawa yang senang pada dunia kebatinan yang bersifat esoteric, dimana ibadah haji didekati dengan rasa, mistis. Orang batak pada umumnya lebih bersifat esoteric : lugas, rasional dan senang mempertanyakan apa saja secara kritis sekalipun itu ibadah haji.
Kelugasan Baharudin nampak, ketika mengungkap latar belakang penulisan ini, secara tidak sadar bahwa Haji-nya termotivasi oleh Buku Danarto yang bertajuk “Orang Jawa Naik Haji”. Pernyataan ini terpapar dalam pengantar Prof Kamaruddin, Tulisan lengkapnya adalah:
Sejak masih kuliah di Universitas Gajah Mada, dia [Baharuddin Aritonang] terkesan dengan buku Danarto berjudul “Orang Jawa Naik Haji”. Dalam hati saya berdoa semoga suatu saat saya bisa ibadah haji, dan saya akan menulis buku dengan Judul Orang Batak Naik Haji.
Pengantar Buku bertajuk Orang Batak naik haji ini, diberikan oleh seorang Guru Besar, Prof. Dr. Komaruddin Hidayat. Di Bagian sampul belakang buku tertulis pula pendapatnya, antara lain:
“Apa yang aneh jika orang Batak, naik haji sehingga harus diangkat dalam buku ini?”
Berbeda pada umumnya orang Jawa yang senang pada dunia kebatinan yang bersifat esoteric, dimana ibadah haji didekati dengan rasa, mistis. Orang batak pada umumnya lebih bersifat esoteric : lugas, rasional dan senang mempertanyakan apa saja secara kritis sekalipun itu ibadah haji.
Kelugasan Baharudin nampak, ketika mengungkap latar belakang penulisan ini, secara tidak sadar bahwa Haji-nya termotivasi oleh Buku Danarto yang bertajuk “Orang Jawa Naik Haji”. Pernyataan ini terpapar dalam pengantar Prof Kamaruddin, Tulisan lengkapnya adalah:
Sejak masih kuliah di Universitas Gajah Mada, dia [Baharuddin Aritonang] terkesan dengan buku Danarto berjudul “Orang Jawa Naik Haji”. Dalam hati saya berdoa semoga suatu saat saya bisa ibadah haji, dan saya akan menulis buku dengan Judul Orang Batak Naik Haji.
BAGAIMANA DENGAN BUKU ORANG JAWA NAIK HAJI + UMROH.
Dulu ketika terbit pertama kali buku ini tanpa embel-embel + Umroh. Tiba-tiba berubah dengan tambahan Umrah, barangkali memang berbeda dengan apa yang pernah di baca oleh Baharuddin Aritonang. Buku ini sepintas memang menggambarkan kesukuan karena ada label “Orang Jawa”, namun kalau dicermati hanyalah berbicara tentang petunjuk perjalanan haji dan umroh.
Judul Orang Jawa naik haji hanyalah strategi memikat pembaca, semula judulnya adalah Catatan Harian Naik Haji. Karena ada orang yang jeli dan lebih tangkas dalam menangkap watak dari buku ini, agar lebih menohok maka judul harus dibelokkan menjadi Orang Jawa Naik Haji. Tentunya Danarto sebagai penulis akan manut-manut saja, dan maklum, karena si-empunya ide itu adalah pemimpin Redaksi Majalah Tempo Goenawan Mohamad.
Siapa Danarto Penulis buku Orang Jawa Naik Haji itu ?. Adalah mahkluk Tuhan Kelahiran Sragen, sastrawan- dramawan.
Buku ini memberikan simplikasi bagi orang yang takut Berhaji, karena memiliki andai-andai yang terlalu jauh. Orang akhirnya akan tergetak untuk berhaji, karena haji bukan merupakan hal yang sulit. Halaman 1 buku ini tertulis judul “ Doa Sapu Jagad” yang ulasannya akan memotivasi orang, sehaingga haji itu serasa tidak sulit, hanya dengan modal Doa sapu jagad, Haji kita sudah bisa syah dan diterima Allah Yang Maha Esa. Memang tidak semua orang bisa menghafal doa dalam bahasa arab, misalnya ketika tawaf memutari Ka,bah ada tujuh macam do’a, nah dengan doa sapu jagad akan teratasi dan Insya Allah Tuhan berkenan.
Kejelian Danarto dalam menorehkan tulisanya terlihat pada halaman 118, yang diberi judul “Beribadah Plus Shoping di Tanah Suci”. Sekarang kegiatan ibadah bisa digabung dengan kegiatan belanja secara besar-besaran. Dewasa ini, pusat belanja orang berduit tidak lagi di Singapura atau Hongkong. Kata orang pusat shoping itu sudah pindah ke Jeddah. Sekalian berhaji atau berumrah, para :”konglomerat” bisa berbelanja di pusat pertokoan Balad. Katanya shoping adalah bagian integral dari Ibu-Ibu. Mungkinkah ada korelasinya dengan orang Jawa yang suka membeli oleh-oleh, sehingga tidak hanya wanita saja yang hamil, koper-koper bawaan hajipun ikut hamil. Berbicara pokoknya, maka buku yang dikreasi oleh Danarto memiliki kemampuan menggendam seorang-orang untuk berangkat haji.Buku Danarto ternyata banyak dijadikan rujukan, bagi penulis yang menceriterakan penagalamannya ketika berhaji. Warung kami memberikan penilaian khusus untuk buku yang satu ini, kalau kita cermati penulisan dan judul buku Orang Batak Naik Haji dan Mbah Suro naik haji, banyak berkiblat pada buku Danarto.
Dulu ketika terbit pertama kali buku ini tanpa embel-embel + Umroh. Tiba-tiba berubah dengan tambahan Umrah, barangkali memang berbeda dengan apa yang pernah di baca oleh Baharuddin Aritonang. Buku ini sepintas memang menggambarkan kesukuan karena ada label “Orang Jawa”, namun kalau dicermati hanyalah berbicara tentang petunjuk perjalanan haji dan umroh.
Judul Orang Jawa naik haji hanyalah strategi memikat pembaca, semula judulnya adalah Catatan Harian Naik Haji. Karena ada orang yang jeli dan lebih tangkas dalam menangkap watak dari buku ini, agar lebih menohok maka judul harus dibelokkan menjadi Orang Jawa Naik Haji. Tentunya Danarto sebagai penulis akan manut-manut saja, dan maklum, karena si-empunya ide itu adalah pemimpin Redaksi Majalah Tempo Goenawan Mohamad.
Siapa Danarto Penulis buku Orang Jawa Naik Haji itu ?. Adalah mahkluk Tuhan Kelahiran Sragen, sastrawan- dramawan.
Buku ini memberikan simplikasi bagi orang yang takut Berhaji, karena memiliki andai-andai yang terlalu jauh. Orang akhirnya akan tergetak untuk berhaji, karena haji bukan merupakan hal yang sulit. Halaman 1 buku ini tertulis judul “ Doa Sapu Jagad” yang ulasannya akan memotivasi orang, sehaingga haji itu serasa tidak sulit, hanya dengan modal Doa sapu jagad, Haji kita sudah bisa syah dan diterima Allah Yang Maha Esa. Memang tidak semua orang bisa menghafal doa dalam bahasa arab, misalnya ketika tawaf memutari Ka,bah ada tujuh macam do’a, nah dengan doa sapu jagad akan teratasi dan Insya Allah Tuhan berkenan.
Kejelian Danarto dalam menorehkan tulisanya terlihat pada halaman 118, yang diberi judul “Beribadah Plus Shoping di Tanah Suci”. Sekarang kegiatan ibadah bisa digabung dengan kegiatan belanja secara besar-besaran. Dewasa ini, pusat belanja orang berduit tidak lagi di Singapura atau Hongkong. Kata orang pusat shoping itu sudah pindah ke Jeddah. Sekalian berhaji atau berumrah, para :”konglomerat” bisa berbelanja di pusat pertokoan Balad. Katanya shoping adalah bagian integral dari Ibu-Ibu. Mungkinkah ada korelasinya dengan orang Jawa yang suka membeli oleh-oleh, sehingga tidak hanya wanita saja yang hamil, koper-koper bawaan hajipun ikut hamil. Berbicara pokoknya, maka buku yang dikreasi oleh Danarto memiliki kemampuan menggendam seorang-orang untuk berangkat haji.Buku Danarto ternyata banyak dijadikan rujukan, bagi penulis yang menceriterakan penagalamannya ketika berhaji. Warung kami memberikan penilaian khusus untuk buku yang satu ini, kalau kita cermati penulisan dan judul buku Orang Batak Naik Haji dan Mbah Suro naik haji, banyak berkiblat pada buku Danarto.
BAGAIMANA PULA DENGAN BUKU “MBAH SURO NAIK HAJI”
Buku ini oleh penulisnya sengaja diberi judul “Mbah Suro Naik Haji” agar ada kesan nJawani. Sisi lain buku ini dapat berbicara bahwa naik haji bukan monopoli santri tertentu, namun santri abanganpun boleh juga naik haji.
Isinya tidak runtut, dan tidak hanya menggabarkan pengalaman pribadi penulis, namun juga mengungkap gambaran pengalaman haji lainnya. Dalam kulit muka tertulis, rangkuman pengalaman spiritual unik dari perjalanan Ibadah Haji seorang para normal. Dari Ilham yang menyuruh segera berhaji, proses datangnya uang [ONH-Plus] yang secara tiba-tiba, getaran gaib makam Rasulullah SAW, berguru dengan Syeh Syuibi India, dan pengalaman lain yang banyak mengandung hikmah yang sangat penting diketahui dan dimiliki setiap manusia.
Maklum karena penulisnya seorang para normal, maka sense of-nya juga para normal. Menurut penuturannya, bahwa yang membimbing Iman Suroso naik haji, karena setelah memperoleh bisikan [wisik] dari makam Kanjeng Sunan Kalijaga. Ketika Ziarah mendapat bisikan “kamu ngulon dulu”, diartikan berangkat ke kulon [barat=Makkah]. Hal tersebut selaras dengan keinginanannya untuk berdoa, di tempat yang mustajabah, yakni roudloh masjid Nabawi. Imam berdoa untuk cklientnya yang mendabakan segera dikaruniai keturunan. Tentunya itulah yang kental bagi seorang haji paranormal, kenyataannya keinginan tersebut terwujud. Setelah berdoa di Roudloh, ditelponlah sang client, tertnyata dokter menyatakan positif hamil. Yang mendorong penulisan buku berjudul Mbah Suro naik haji itu, adalah karib Iman Suroso, yakni seorang penulis yang produktif, hingga saat ini sekitar 70 buku telah dirampungkannya. Musruri, nama karib Imam, memberikan tugas untuk merekam segala apa yang dilakukan di tanah haram, akhirnya jadilah buku ini.
Buku ini oleh penulisnya sengaja diberi judul “Mbah Suro Naik Haji” agar ada kesan nJawani. Sisi lain buku ini dapat berbicara bahwa naik haji bukan monopoli santri tertentu, namun santri abanganpun boleh juga naik haji.
Isinya tidak runtut, dan tidak hanya menggabarkan pengalaman pribadi penulis, namun juga mengungkap gambaran pengalaman haji lainnya. Dalam kulit muka tertulis, rangkuman pengalaman spiritual unik dari perjalanan Ibadah Haji seorang para normal. Dari Ilham yang menyuruh segera berhaji, proses datangnya uang [ONH-Plus] yang secara tiba-tiba, getaran gaib makam Rasulullah SAW, berguru dengan Syeh Syuibi India, dan pengalaman lain yang banyak mengandung hikmah yang sangat penting diketahui dan dimiliki setiap manusia.
Maklum karena penulisnya seorang para normal, maka sense of-nya juga para normal. Menurut penuturannya, bahwa yang membimbing Iman Suroso naik haji, karena setelah memperoleh bisikan [wisik] dari makam Kanjeng Sunan Kalijaga. Ketika Ziarah mendapat bisikan “kamu ngulon dulu”, diartikan berangkat ke kulon [barat=Makkah]. Hal tersebut selaras dengan keinginanannya untuk berdoa, di tempat yang mustajabah, yakni roudloh masjid Nabawi. Imam berdoa untuk cklientnya yang mendabakan segera dikaruniai keturunan. Tentunya itulah yang kental bagi seorang haji paranormal, kenyataannya keinginan tersebut terwujud. Setelah berdoa di Roudloh, ditelponlah sang client, tertnyata dokter menyatakan positif hamil. Yang mendorong penulisan buku berjudul Mbah Suro naik haji itu, adalah karib Iman Suroso, yakni seorang penulis yang produktif, hingga saat ini sekitar 70 buku telah dirampungkannya. Musruri, nama karib Imam, memberikan tugas untuk merekam segala apa yang dilakukan di tanah haram, akhirnya jadilah buku ini.
BUKU HAJI TERKAIT ETNIS DI WARUNG KAMI
JUDUL : Orang Batak Naik Haji
PENGARANG : Baharuddin Aritonang
PENERBIT : KPG [Kepustakaan Populer Gramedia] Jakarta,
CETAKAN : II Januari 2003
ISBN : 979-9023-86-8
JUMLAH HALAMAN:216
PENGARANG : Baharuddin Aritonang
PENERBIT : KPG [Kepustakaan Populer Gramedia] Jakarta,
CETAKAN : II Januari 2003
ISBN : 979-9023-86-8
JUMLAH HALAMAN:216
JUDUL : Orang Jawa Naik Haji
PENGARANG : Danarto
PENERBIT : Dian Rakyat .Jakarta,Jl. Rawagelam I/4 Kws. Industri Pulogadung Jakarta 13930 Telepon [021] 4604444
CETAKAN : I 1999
ISBN :
JUMLAH HALAMAN:207
PENGARANG : Danarto
PENERBIT : Dian Rakyat .Jakarta,Jl. Rawagelam I/4 Kws. Industri Pulogadung Jakarta 13930 Telepon [021] 4604444
CETAKAN : I 1999
ISBN :
JUMLAH HALAMAN:207
JUDUL : Mbah Suro Naik Haji
PENGARANG : Drs.Imam Suroso.
PENERBIT : Pedepokan Bumi Walisongo Pati.
CETAKAN : I Juni 2001
ISBN :
JUMLAH HALAMAN:80
PENGARANG : Drs.Imam Suroso.
PENERBIT : Pedepokan Bumi Walisongo Pati.
CETAKAN : I Juni 2001
ISBN :
JUMLAH HALAMAN:80
1 comment:
Salam buat pemerhati buku haji. Kebetulan saya juga insya Allah akan menghadirkan satu buku pengalaman haji di JAKARTA pada bulan mei ini.
By writer of Hajji Book:
40 Hari Di Tanah Suci.
Thank you
Post a Comment