Dalam buku ini, persoalan yang paling dominant di urai, dan dan disertai bobot kritik yang memadai adalah persoalan Ujian Negara, UAN atau Unas.
Ujian Nasional menurut buku ini membantai kewibawaan Guru. Ujian Nasional juga menggrogoti wibawa professional guru dan menjadikan guru sebagai profesi yang tidak layak dipercaya.
Dengan gaya tulisan yang hiperbolik ini, seakan-akan memberikan pertanyaan kepada pemerintah hal ikhwal guru, apakah guru masih adapat dipercaya?
Munculnya pertanyaan itu karena realita empirik membuka mata setiap orang, bahwa dalam pendistribusian soal ujian melibatkan Polisi. Inilah menurut Daniel sebagai bentuk ketidak percayaan. Jika guru tidak bisa dipercaya, apa ada profesi lain yang bisa dipercaya? Apakah sekolah gagal membudayakan kejujuran pada anak didiknya? Dan jika sekolah tidak bisa dipercaya, apa ada lembaga di negeri ini yang bisa dipercaya?
Diibaratkan saat ini sedang berlagu sebuah permainan “Zero Sum” alias, sisi pemerintah mempertahankan paradigmanya dengan berbagai rasional dan tekananan kekuasaan, sementara itu sekolah memerankan fungsi perlawanan, dengan taktik segala cara, agar sekolah aman dalam mengawal “kelulusan”. Taktik atau strategi pembocoran soal, pada dasarnya adalah tindakan yang kurang cantik. Ada yang lebih cantik sekaligus cerdas, yakni memanfaatkan Otonomi Daerah sebagai senjata. Yakni tidak menganggap Unas itu wajib, namun merupakan optional [pilihan], lebih lanjut tidak usah ikut Unas saja.
Berani dan sangat menggigit pernyataan Daniel lewat bukunya, secara terang-terangan menyatakan jika ujian Negara itu sebagai penentu kelulusan, wajib hukumnya untuk ditolak. Tentunya bukan tanpa alasan, menurut pencermatan, sedikitnya terdapat tiga argumentasi yang sangat rasional.
Terbitnya Peraturan Menteri No. 45 Tahun 2006 tentang Ujian Nasional 2007, menstimuli penolakan. Peraturan ini membawa dua perubahan jika dibandingkan dengan pelaksanakaan ujian nasional tahun 2006. Pertama jadwal pelaksanaan UN dilaksanakan lebih awal, dan mendahului ujian sekolah. Kedua, mensyaratkan rata-rata 5,0 untuk ketiga mata pelajaran yang di –UN-kan.
Pemicu penolakaan ini menurut Daniel, karena siswa sebagai konsumen pendidikan merasa rugi, oleh karenanya UN harus ditolak. Adapun argumentasi penolakan itu antara lain:
Pertama: Mendiknas terbukti mengambil keputusan kebijakan argan dan tidak etis, dengan mendahulukan regulasi Ujian Nasional daripada mendahulukan regulasi Ujian Sekolah, dan memajukan jadwal Ujian Nasional sebelum Ujian Sekolah dilaksanakan identik dengan aktivitas yang mendorong back wash negative atas seluruh proses pembelajaran yang telah diupayakan 3 tahun sebelumnya.
Artinya, Ujian Sekolah akan semakin “diremehkan” oleh siswa dan guru, sementara ujian Nasional akan semakin all-too-important.
Kedua: alasan penolakan atas Ujian Nasional 2007 adalah bahwa, permen 45/2006 ini secara implicit melarang sekolah untuk melakukan Ujian Sekolah untuk ketiga mata pelajaran yang di UN-kan, padahal lulus UN merupakan syarat untuk lulus sekolah. Ini berarti, seluruh proses pembelajaran selama 3 tahun untuk ketiga mata pelajaran tersebut diingkari [terutama untuk kegiatan belajar yang bersifat membangun kompetensi afektif dan motorik], dan kelulusannya hanya ditentukan saat UN.
Ketiga, alasan mengapa UN 2007 harus ditolak adalah karena mensyaratkan rata-rata skor untuk ketiga mata pelajaran 5,0 ini tidak memiliki basis ilmiah sama sekali. Menghitung rata-rata untuk 3 kompetensi yang berbeda pada seorang siswa tidak bermakna sama sekali. Untuk ketiga mata pelajaran ini, yang paling adil dan relevan adalah membiarkannya dalam sebuah profil capaian kompetensi siswa, tidak menghitung rata-ratanya.
Daniel dengan sabar masih menunggu hasil citizen lawsuit yang sedang berlangsung saat ini untuk memmbatalkan hasil UN sebagai penentu kelulusan siswa.
Disamping tulisan Daniel yang cukup menggelitik warung juga mencermati pemberitaan yang terkait dengan Ujian Nasional. Warung sangat prihatin ketika pemberitaan koran harian sore Surabaya Post menulis "leadnya" besar-besaran "Mendiknas Kalap". Ternyata berita terkait ujian nasional. Ketika itu digambarkan Guru sama dengan teroris.
Anggota Dewan Perwakilan Daerah RI, Nuzran Joher, menilai langkah Mendiknas melaporkan Kasus Ujian Nasioanl SMA 2 Lubuk Pakam, Sumatera Utara [Sumut], merefleksikan kekalapan dan kepanikan politik demi menjaga citra kebijakannya.
Tutur Nuzran, “Sudah jelas, kebijakan Ujian Nasional [Unas] itu memang bermasalah. Menteri Pendidikan Nasional bukan justru malu atas kejadian penggrebekan oleh Densus 88 ke sekolah tersebut”
Sementara itu Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah [DPD] RI, Laode Ida, menegaskan, penyelenggaraan Unas bertentangan dengan Undang-Undang Pendidikan sehingga perlu ditinjau kembali pelaksanaannya.
1. UAN, Mengapa Perlu,
2. Lebih Asyik Tanpa UAN
JUDUL : UAN Mengapa Perlu ?
PENULIS : Eko. Dkk
PENERBIT : Al- Kautsar Prima Indocamp Jl. Kutilang I-67 N0. 14 Jatibening Estate, Bekasi 17412. Telp, 021-9173181. E-mail: indocamp@yahho.com
ISBN: 979-98430-3-0
CETAKAN : 2005
HALAMAN : 94 hal; 21Cm
[Menurut buku ini, pelemik yang terjadi terkait “pro” dan “kontra” ujian nasional harus tetap disemangati oleh niatan memperbaiki mutu pendidikan di Tanah Air.
Pengantar buku ini mentandaskan bahwa Standardisasi nasional pendidikan sepertinya sudah tidak bisa ditawar dan dibantah lagi kehadirannya. Standar itu diperlukan untuk menyamakan derajat pendidikan di seluruh Indonesia, tapi untuk saat ini ujian nasional tak bisa dilakukan karena disparitas pendidikan antar daerah yang sangat tinggi.
Terkait soal ini, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Fuad Hasan lantas membandingkan perumusan pasal-pasal di UU No. 2/1989 dan UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional [Sisdiknas]. Intinya, hasil belajar ini ditentukan oleh keseluruhan proses belajar mengajar. Maka penilaian hasil belajar harus menyertakan penilaian terhadap faktyor-faktor lainnya yang berpengaruh terhadap hasil belajar sebagai keluaran dari proses itu. Jadi, bukan hanya ditentukan oleh hasil ujian akhir saja.
PERDEBATAN : DIHAPUS ATAU DIPERTAHANKAN
SUARA YANG MENGHAPUS:
Buku ini juga mengendus keberatan beberapa LSM terkait dengan pelaksanaan UAN. Tradisi UAN yang diselenggarakan pemerintah melanggar UU Sisdiknas kerena mengabaikan menajemen berbasis sekolah. Pasal 58 Ayat [1] UU. No.20/2003 menyatakan bahwa evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan. DEngan demikian, dapat dikatakan bahwa penyelenggaraan UAN telah merampas kewajiban guru dalam melaksanakan penilaian hasil belajar siswa.
SISI LAIN
Depdiknas tetap bersikukuh melaksanakan UAN dengan alasan pengendalian dan stndarisasi mutu pendidikan nasional yang menjadi kewajiban pemerintah pusat. Sikap DPR sebagai wakil rakyat sendiri, tampaknya ibarat membakar lumbung hanya untuk membunuh seekor tikus.
WINARNO SURAKHMAD BERPENDAPAT:
Sementara pakar pendidikan Prof.Dr.Winarno Surakhmad menilai, meski tradisi ujian perlu ditinjau ulang, namun sumber keberatannya terletak pada ketrelibatan Negara yang ikut mengendalikan ujian secara nasional.
Dalam pendangan Winarno, soal ujian sampai penentuan standar lkelulusan, cukup dibuat guru sekolah dengan mengacu standar nasional. Jadi pemerintah pusat hanya sebagai fasilitator dan regulator standar nasional. Jika UAN hanyalah untuk pemetaan pendidikan tidak perlu dilakukan setiap tahun. Jadi cukup 3-5 tahun sekali.
Apalagi hasil Ebtanas Hingga UAN selama ini terkesan hanya berhenti pada tahap pemetaan. Winarno mempertanyakan, pernahkah menfdengar nilai ujian mata pelajaran Matematika yang rendah di daerah tertentu ditindaklanjuti dengan pembinaan guru matematika secara intensif di daerah bersangkutan. Ia mengingatkan, yang lebih paham tentang kemampuan akademik peserta didik adalah guru itu sendiri.
ISTIMEWANYA BUKU INI:
Sejarah evaluasi di Indonesia dari periode ke periode dibahas tuntas, keuntungan dan kerugian tentunya dapat diapresiasi dari buku ini.
Sebagai apologia tentunya, bila model evaluasi tentu dipandang sebagai system yang terbaik pada masanya.
Periode pertama dimulai sejakk awal kemerdekaan negeri ini pada tahun 1945. Masa itu, intervensi negera sangat dominant. Peranan pemerintah amat menentukan dalam evaluasi pendidikan. Hampir semua perangkat yang digunakan untuk mengevaluasi keberhasilan anak didik ditentukan oleh Negara. Sekolah hanya menjadi penyelenggara proses belajar-mengajar. Efek yang terjadi adalah tingkat kelulusan yang ketat, bahkan dalam sekolah yang lulusa hanya dalam hitungan jari. Anak didik harus belajar ekstra ketat dan tidak beleh main-main dalam menghadapi ujian.
Sejak 1964, sekolah menjadi penentu kelulusan. Sistem ujian Negara berubah menjadi ujian sekoalh. Berbeda dengan sebelumnya, dengan ujian sekolah pemerintah tidak lagi berperan menentukan kelulusan siswa. Pemerintah hanya memberikan guidance dalam bentuk pedoman dan arahan. Sebagai ujian sekolah, penentu kelulusan diserahkan sepenuhnya kepada sekolah.
Model evaluasi yang dilakukan oleh sekolah dianggap terlalu longgar sehingga hamper tidak ada anak didik yang tidak lulus dalam ujian akhir. Tingkat kelulusan rata-rata 100%. Ujung-ujungnya, kembali muncul protes dari masyarakat. Banyak yang mengeluhkan menurunnya mutu pendidikan. Tidak sedikit anak didik yang hanya sekedar lulus, tapi lemah dalam kemampuan penguasaan pada mata pelajaran yang seudah dipelajarinya. Mutu lulusan lembaga pendidikan rendah.Sistem ujian sekolah yang sudah diterapkan selama 17 tahun, berubah menjadi evaluasi tahap akhir nasional [Ebtanas]. Mulai tahun 1982, model Ebtanas mengacu pada dua model evaluasi sebelumnya: Memadukan ujian Negara dengan ujian sekolah.
Apa yang terjadi? Ternyata tingkat kelulusan tetap sama saja dengan periode sebelumnya: rata-rata lulus 100%.
Kesan adanya mark up nilai sulit dihindari. Tanpa bermaksud mencari kambing hitam, kesan itu mudah diketahui dari nilai yang diperoleh siswa saat mengikuti ebtanas.
Pada akhirnya, model evaluasi ini pun menuai banyak kritik. Banyak pengamat menilai, model semacam ini tidak mendorong anak didik untuk belajar keras. Juga tidak mendorong guru untuk bekerja keras. Pengajar tidak ditantang oleh keadaan untuk lebih mempersiapkan diri.. Budaya bersainng pun tidak layak hadir dalam ranah ujian seperti ini.
Lahirnya keinginan merubah model Ebtanas akahir terwujud ketika tahun 2002 dengan nama UAN [Ujian Akhir Nasional]. UAN nasibnya sama dengan model ujian-ujian sebelumnya. Kebijakan ini menyentak banyak orang. Protes bermunculan, tidak hanya dari para siswa, tetapi juga kalangan pakar pendidikan. Banyak yang tidak setuju, tetapi sebagian lainnya dapat memahami. Polemik soal ini menjadi ramai, baik di ruang-ruang seminar maupun di media massa. Padahal, pada tahun pertama UAN diterapkan, standar minimal 3,01.[Tahun 2008, standar minimal 5,25] . Ketika itu sebagian mengatakan waktu pelaksanaan UAN kurang disosialisasikan sehingga berkesan terburu-buru. Sebaliknya yang setuju memandang kebijakan ini akan memacu anak didik untuk lebih giat belajar. ]
Detil Buku :
JUDUL : Lebih Asyik Tanpa UAN
PENULIS : Zafika
PENERBIT : LKIS. Salakan Baru No. 1. Sewon Bantul Jl. Parang Km. 4.4. Yogyakarta Telp, 0274-387194-7472110. E-mail: elkis@indosat.net.id
ISBN: 979-25-5258-8
CETAKAN : I - Januari 2007
HALAMAN : xiv + 82 hal; 12 x 18 cm
[Buku ini ditulis oleh tiga siswi SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah Kalibening Salatiga, merupakan wujud keprihatinan para siswa terhadap keberadaan UAN. Penulisan semacam ini telah menjadi tradisi di sekolai ini, bahkan karya tulis ini diberikan nama yang sangat mentereng, desertasi. Kalau kita jeli tentunya akan salut sembari angkat topi, karena se level SLTP sudah dikenalkan dengan pembuatan karya tulis.
Tujuan penulisan :
- Ada berberapa tujuan penulisan buku ini yaitu:
- Ingin mengetahui seperti apa subtansi UAN
- Ingin mengetahui sejauh mana kebutuhan masyarakat terhadap UAN
- Ingin mengetahui sejauh mana manfaat UAN bagi masyarakat Indonesia
- Ingin mencari dan kemudian menawarkan, mengusulkan kepada pemerintah tentang sistem pendidikan yang ideal
- Mengetahui dihapus atau tidaknya UAN.
Terbangunnya system pendidikan yang bias menjawab persoalan dan kebutuhan masyarakat.[hlm:6]
Tidak jelas juntrungnya, mengapa “disertasi” ini menarik penerbit LKIS menerbitkannya, dengan judul Lebih Asyik Tanpa UAN. Namun demikian apapun alasannya, mengapresiasi sebuah karya orang lain, dapat memberikan kesejukkan batin.
Dalam kata pengantar buku ini, ditulis beberapa kalimat yang maknanya bahwa pemerintah seudah berada di luar garis kebenaran.
“Secara yuridis, terjadi pelanggaran terhadap UU Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003. Pada pasal 58 ayat 1 UU ini, misalnya, menyatakan bahwa evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memnatau proses, kemajuan, dan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajauan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan. Di sini, UAN yang diselenggarakan secara sepihak oleh pemerintah jelas telah mengabaikan hak guru dan sekolah terkait untuk evaluasi dan menilai hasil dari proses belajar siswanya sendiri”
Secara pedagogis, jelas UN dan UAN memiliki kelemahan mendasar, yakni hanya mencakup aspek kognitif [pengetahuan], dan tidak mencakup psikomotorik maupun afektif.
Secara psikologis, UAN menimbulkan keteganngan siswa, karena terkesan menjadi soal hidup dan mati, dan berakhirnya pendidikan.
Secara social. Lebih mengerikan UAN menjadi penentu kelulusan, pada akhirnya mendorong sebagian siswa untuk melakukan apa pun termasuk menyontek, agar dirinya lulus. Dengahn demikian alih-alih mencerdaskan kehidupan anak negeri, UAN pada hakikatnya justru membodohkan mereka karena tolok ukur kelulusan tidak adil]UAN TIDAK ADIL:
Sangat tidak adil jika kemampuan siswa hanya dinilai oleh ketelitian computer yang mengamati beberapa coretan yang tertera di lembar kertas. Padahal coretan tersebut bukanlah cermin dari kemampuan siswa. Hanya sekedar coretan yang bisa jadi berupa ketidaktelitian siswa dalam mencoret atau ketidaksengajaan siswa dalam mencoret. Bisa dibilang, UAN bukanlah untuk mengukur kemampuan siswa, melainkan untuk mengukur keberuntungan siswa dalam mencoret lembaran soal. Selain itu, sangat tidak rasional juga ketika proses mengukur kemampuan hanya berlangsung dua jam dengan ketegangan yang tidak bisa dihindari oleh siswa.
Buku ini merupakan ihktiar ketiga siswi yang selanjutnya, direnungkan dan kemudian dibuatlah suatu keputusan. Keputusanya adalah Siswi SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah Kalibening Salatiga ini, bertekad bulat tidak ikut UAN.
Buku ini juga mengundang pendapat para pakar, yang intinya berkutat pada pro dan kontra UAN. Kemudian isu seputar UAN dari guntingan media, cetak turut serta menghiasi.
SLTP INI, MEMANG HEBAT:
Alumninya banyak yang “sakti”, rata-rata mereka menguasai bahasa Inggris dengan baik. Bahkan salah satu dari ketiga penulis buku ini, berani diadu untuk soal TEOFL.
Dari pengakuan siswa, sekolah ini sangat kondusif untuk mencerdas, bahkan jika ingin “ngenet” 24 jam pun sekolah ini menyediakan.
No comments:
Post a Comment