Sebuah buku yang dapat menasihati kemenangan Pil Gub Jatim yang beda tipis.
Buku ini merupakan seri Pemikiran Susilo Bambang Yudhoyono yang dibuat ketika belum menjabat sebagai presiden. Nampaknya buku ini dibuat untuk kepentingan mengenalkan, sekaligus mendekatkan pola pikir SBY kepada masyarakat. Gagasan pikir SBY ternyata memiliki tingkat durabiltas [keawetan] hingga saat ini, bahkan sangat relevan untuk kondisi saat. Kemungkinan buku ini dikreasi untuk kepentingan jangka panjang atas dasar pengalamanannya, sehingga memiliki daya prediksi yang cukup lumayan.
Buku yang bertajuk "Membangun Moral & Etika Bangsa" ini, ternyata dapat juga difungsikan sebagai nasihat utamanya dikaitkan fenomena Pilkada di negeri ini yang acapkali timbul silang sengketa.
Dikaitkan dengan fenomena Pil Gub Jatim yang perhitungannya berbeda tipis itu, buku ini seakan memberikan energi perdamaian. Karena didalam buku ini sarat dengan upaya-upaya penyikapan, ketika terdapat dua atau lebih kelompok sedang bersaing.
Misalnya dalam pemilihan Gubernur Jawa Timur yang baru saja usai, hasil perhitungannya hanya terpaut 0,3 %. Dengan beda tipis ini memungkinkan timbulnya gesekan yang kurang menguntungkan, apalagi tanpa didukung kesadaran yang meletakkan moral dan etika di atas kepentingan kandidat.
Data BukuJUDUL: Membangun Moral & Etika Bangsa--sebuah seri pemikiran Susilo Bambang Yudhoyono
PENULIS: Susilo Bambang Yudhoyono [Editing Heru Lelono]
PENERBIT: GIB
CETAKAN: Pertama Mei 2003
BUKU INI MENASEHATI :
Buku ini dapat digunakan untuk menasehati pemenang pemilihan Gubernur Jawa Timur yang terpaut tipis.
Buku ini dengan keras menolak beberapa prinsip hidup yang selama ini mungkin dianggap lumrah oleh sebagian orang namun mungkin juga dipandang tidak adil bagi yang tidak diuntungkan oleh prinsip itu. The Winner takes all, The Survival of the fiiest, Unlevel playing field, Free fight liberalism, The ends justufy the means, fight against, Xenopobhia, Frien or Foe, dan Absolutness.
The Winner takes all berarti pemenang akan menguasai segalanya. Siapa yang berkuasa dalam sebuah negara, ia menyikat habis siapapun kecuali bagi kepentingan kelompok, kroni, golongan ataupun keluarganya. Tidak pandang bulu, lawan politiknya tidak diberi kesempatan untuk hidup. Siapapun yang berbeda, apalagi yang dipandang berlawanan dianggap sebagai musuh karena tidak pernah tumbuh kebutuhan untuk saling berbagi. Sebenarnya, kita tidak punya pilihan lain kecuali harus membuka diri dan berkeinginan saling berbagi dengan sesama.
Demikian juga prinsip The Survival of the Fittest. Pandangan ini merupakan pola kehidupan uang menggunakan pola kehidupan yang menggunakan hukum rimba bahwa yang kuat pasti menang. Prinsip ini tertentu mengandung penindasan dan kezaliman, melemahkan dan memperlemah. Dengan sendirinya, hanya yang kuat yang akan tetap hidup dan berkembang.
Unlevel playing field juga pandangan yang perlu kita jauhkan. Persaingan tanpa ada unsur kesetaraan tidak akan membuahkan keadilan. Yang ada hanyalah penindasan terhadap yang lemah, atau memperlemah yang lemah.
Wilayah permainan yang tidak seimbang, tidak setingkat akan menjadi ajang penindasan. Tidak mungkin kita mempersaingkan antara pengusa besar dan penguasa gurem. Perlu ada lapangan kompetisi yang adil dan sejajar.
Absolutness, suatu pikiran dan sikap yang serba mutlak. Segalanya dinilai hitam putih. Sikap ini akan menampilkan intoleransi, antidialog, antikompromi dan sekaligus ketidakramahan pada orang lain. Hanya kelompoknya yang paling benar, sedangkan lainnya salah. Sikap ini harus dibuang jauh-jauh. Absolutness akan melahirkan pemikiran free fight liberalism yang amat jauh bertentangan dengan keadilan dan nilai kemanusiaan. Dalam prinsip tersebut kebebasan adalah demi kebebasan.
The ends justify the means berarti prinsip yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan sebagai pengaruh dari sikap memutlakan segala sesuatu. Di dalamnya juga terkandung semangat Machiavelli dan ultilitarianisme. Kita sering terjebak dalam prinsip To the greates good for to the greates people, sepanjang untuk kebaikan bagi yang terbesar bangsa ini. Maka segala sesuatu bersikap baik, benar, dan halal. Tentu saja pemikiran semacam ini sebaiknya dihindari.
Friend or Foe perlu kita jauhi. Ia merupakan cara pandang dan pikiran yang hanya melihat kawan atau lawan, kita atau bukan kita. Dengan sikap ini setiap orang telah menjadi pribadi yang terbelah, tidak utuh lagi.
Pandangan dan sikap the might is right mesti diubah. The might is right menunjukkan bahwa yang berkuasa pasti benar. Pandangan ini menjadi bagian dari sikap abasolutisme dan otoritarianisme. Amatlah berbahaya jika pandangan ini dimiliki oleh para pemimpin sehingga akan muncul sikap otoriter, diktator, dan dogmatisme. Sebaliknya lebih berbahaya jika sikap ini dimiliki masyarakat yang dipimpin; karena akan muncul sikap taklid, kultus kekuasaan dan fanatisme. Daya kontrol masyarakat lemah, sementara para pemimpinnya terbiasa berjalan tanpa kendali.
.............mudah-mudah ini semua telah diketahui oleh pasangan Gubernur yang sedang bertempur.
Demikian juga prinsip The Survival of the Fittest. Pandangan ini merupakan pola kehidupan uang menggunakan pola kehidupan yang menggunakan hukum rimba bahwa yang kuat pasti menang. Prinsip ini tertentu mengandung penindasan dan kezaliman, melemahkan dan memperlemah. Dengan sendirinya, hanya yang kuat yang akan tetap hidup dan berkembang.
Unlevel playing field juga pandangan yang perlu kita jauhkan. Persaingan tanpa ada unsur kesetaraan tidak akan membuahkan keadilan. Yang ada hanyalah penindasan terhadap yang lemah, atau memperlemah yang lemah.
Wilayah permainan yang tidak seimbang, tidak setingkat akan menjadi ajang penindasan. Tidak mungkin kita mempersaingkan antara pengusa besar dan penguasa gurem. Perlu ada lapangan kompetisi yang adil dan sejajar.
Absolutness, suatu pikiran dan sikap yang serba mutlak. Segalanya dinilai hitam putih. Sikap ini akan menampilkan intoleransi, antidialog, antikompromi dan sekaligus ketidakramahan pada orang lain. Hanya kelompoknya yang paling benar, sedangkan lainnya salah. Sikap ini harus dibuang jauh-jauh. Absolutness akan melahirkan pemikiran free fight liberalism yang amat jauh bertentangan dengan keadilan dan nilai kemanusiaan. Dalam prinsip tersebut kebebasan adalah demi kebebasan.
The ends justify the means berarti prinsip yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan sebagai pengaruh dari sikap memutlakan segala sesuatu. Di dalamnya juga terkandung semangat Machiavelli dan ultilitarianisme. Kita sering terjebak dalam prinsip To the greates good for to the greates people, sepanjang untuk kebaikan bagi yang terbesar bangsa ini. Maka segala sesuatu bersikap baik, benar, dan halal. Tentu saja pemikiran semacam ini sebaiknya dihindari.
Friend or Foe perlu kita jauhi. Ia merupakan cara pandang dan pikiran yang hanya melihat kawan atau lawan, kita atau bukan kita. Dengan sikap ini setiap orang telah menjadi pribadi yang terbelah, tidak utuh lagi.
Pandangan dan sikap the might is right mesti diubah. The might is right menunjukkan bahwa yang berkuasa pasti benar. Pandangan ini menjadi bagian dari sikap abasolutisme dan otoritarianisme. Amatlah berbahaya jika pandangan ini dimiliki oleh para pemimpin sehingga akan muncul sikap otoriter, diktator, dan dogmatisme. Sebaliknya lebih berbahaya jika sikap ini dimiliki masyarakat yang dipimpin; karena akan muncul sikap taklid, kultus kekuasaan dan fanatisme. Daya kontrol masyarakat lemah, sementara para pemimpinnya terbiasa berjalan tanpa kendali.
.............mudah-mudah ini semua telah diketahui oleh pasangan Gubernur yang sedang bertempur.
No comments:
Post a Comment