Sisilain buku ini, menonjolkan sebuah kerangka konseptual terkait dengan "Political Marketing Kaum selebriti", yang didalamnya terdapat pola resiprokal atau timbal balik, namun memiliki goal yang sama [goal congruent]. Makna luasnya adalah untuk mewujudkan cita-cita bersama, selebriti menjadi wakil rakyat dan partai politik memperoleh tambahan kekuatan di parlemen. Atau akibat masukknya para selebriti memberikan dampak signifikan terhadap peroleh suara. Ternyata hasil dapat dikatakan belum signifikan, karena dari 38 artis yang terjun menjadi politisi, hanya 7 orang yang mampu mengapai kursi parlemen dan berkantor di Senayan.
Buku yang merupakan hasil penelitian Alfito Deannova, secara kualitatif dapat membentangkan bagaimana selebriti itu berkiprah, dan hasilnya menunjukkan temuan-temuan yang mengubah presepsi adan asumsi, bahwa seorang selebriti adalah alat paling ampuh mendulang suara.
Data-data disungguhkan dalam tabel yang mudah cerna dan sekaligus dibarengi dengan pendeskripsian yang cukup menjelaskan.
Dengan tanpa diduga buku ini juga memiliki kemampuan membelajarkan institusi politik, dalam hal ini partai politik, untuk lebih cermat ketika meminang artis sebagai bagian icon partai.
Data buku
JUDUL: Selebriti Mendadak Politisi [Studi Atas Pragmatisme Kaum Selebritis Dari panggung Hiburan Menuju Panggung Politik]
PENULIS: Alfianto Deannova
PENERBIT: Arti Bumi Intaran. Jl. mangkuyudan MJ III/216 Yogyakarta 55143. Telp. 0274-380228. E-mail: penerbit_arti@yahoo.com
ISBN: :978-979-15836-7-1
TEBAL: xxii + 208 hlm, 14 x 21 cm
CETAKAN: I, September 2008
SEJAK LAMA KAUM SELEBRITI JADI POLITISI:
Partisipasi kaum selebriti, khususnya kalangan seniman, dalam pemilu di Indonesia sendiri, sesungguhnya punya sejarah panjang. Peneliti dari Asia Research National University of Singapore, Jennifer Lindsay [2005] menuturkan, bahwa peran entertainer dalam politik Indonesia dimulai sejak Pemilu 1955.
Dalam era tersebut, para pelaku kesenian tradisional diberdayakan oleh partai politik sebagai penarik perhatian massa dan menjadi pemanis dalam rapat-rapat politik, maupun kampanye. Namun dalam setiap performa, mereka selalu menyelipkan pesan-pesan politik, yang berkonteks propaganda. Lekra [Lembaga Kesenian Rakyat] misalnya. Organisasi saya Partai Komunis Indonesia [PKI] ini, selalu menyampaikan ide-ide, bahwa berbagai kesenian tradisional seperti wayang, reog, lenong dan lainnya adalah contoh-contoh kuat dari "Buadaya Rakyat"
Dalam perkembangannya di masa Orde Baru, keterlibatan peran penampil dan enterainer berlanjut. Lindsay mengungkapkan, sejak tahun 1971, hiburan adalah salah satu aspek yang tak pernah diabaikan oleh partaiolitik. Nama-nama beken dunia keartisan lebih senang berafiliasi ke Golkar, karena bayaran yang lebih menggiurkan dan kemudahan mendapat akses ke sumbu kekuasaan.
Sebaliknya, mereka yang "menolak: justru akan mendulang kesulitan. Contoh paling nyata adalah apa yang dialami, Raja Danggdut, Rhoma Irama. PadaPemilu 1977 dan 1982, ia menjadi juru klampanye Partai Persatuan Pembangunan [PPP]. Dalam pada itu pula, ia dicekal di TVRI, sebelas tahun lamanya.
PENULIS BUKU INI--ALFIANTO DEANNOVA, TELAH MENGUNJUNGI WARUNG INI, DAN MEMBERI KOMENTAR. Terima Kasih...
2 comments:
Mas Djoko, terima kasih atas ulasannya. Dari review yang anda sampaikan sedikit saja izinkan saya berkomentar. Yang dimaksud mendadak itu, bukan hari ini pengin, hari ini jadi hehehehe. Walaupun ada proses, namun semuanya sangat - sangat instan. Salah satunya misalnya, para selebriti tidak semuanya, atau kebanyakan tidak pernah menjalani fase - fase seperti yang dijalani kader biasa. Hitungannya juga dalam kurun bulanan. Itukan prematur dalam kondisi pematangan ideologi, loyalitas, dan konsep politik. Tapi sekali lagi saya apresiasi banget telah mengulas buku saya. Kalau ada waktu silahkan mampir ke alfitodeannovagintings.blogspot.com
Pak Alfito. saya tertarik dengan bukunya kalau di bandung ada dijual juga nggak yah?
Post a Comment