Pengemar bola, termasuk guru/dosen olah raga tidak boleh melewatkan buku yang satu ini. Sangat dianjurkan untuk para presenter “dadakan” untuk membacanya, agar modal yang sangat terbatas menjadi luas.
Buku ini juga merupakan bacaan wajib kandidat Bupati atau Walikota, agar jika terpilih mampu membawa kotanya menjadi tenar karena sepakbola. Buku ini juga diperuntukkan motivator dan inspirator sepakbola, agar ketika membawakan perannya mencapai sasaran yang sebenarnya.
Karakter buku ini memberikan informasi menghibur, kupasannya yang tajam dan enak dicerna, dan dikreasi secara cemat melalui induksi pengalama empiri.
Buku ini bertajuk “Drama itu Bernama SepakBola” – Gambaran Silang sengkarut Olahraga, Politik, dan Budaya.
Detil buku
JUDUL : Ddrama itu Bernama Sepak Bola
PENULIS: Aries Natakusumah
PENERBIT: PT Elex Media Komputindo. Kelompok Kompas-Gramedia Jakarta. Jl. Palmerah Selatan 22 Jakarta 10270. Telp. 021-5483008. Web page : http://www.elexmedia.co.id/
CETAKAN: 2008
ISBN: 978-979-27-3059-3
HALAMAN: xvii + 333 hlm
Tiga kalimat kunci untuk menyelami buku ini, diberikan lewat sampul belakang buku:
Buku ini juga merupakan bacaan wajib kandidat Bupati atau Walikota, agar jika terpilih mampu membawa kotanya menjadi tenar karena sepakbola. Buku ini juga diperuntukkan motivator dan inspirator sepakbola, agar ketika membawakan perannya mencapai sasaran yang sebenarnya.
Karakter buku ini memberikan informasi menghibur, kupasannya yang tajam dan enak dicerna, dan dikreasi secara cemat melalui induksi pengalama empiri.
Buku ini bertajuk “Drama itu Bernama SepakBola” – Gambaran Silang sengkarut Olahraga, Politik, dan Budaya.
Detil buku
JUDUL : Ddrama itu Bernama Sepak Bola
PENULIS: Aries Natakusumah
PENERBIT: PT Elex Media Komputindo. Kelompok Kompas-Gramedia Jakarta. Jl. Palmerah Selatan 22 Jakarta 10270. Telp. 021-5483008. Web page : http://www.elexmedia.co.id/
CETAKAN: 2008
ISBN: 978-979-27-3059-3
HALAMAN: xvii + 333 hlm
Tiga kalimat kunci untuk menyelami buku ini, diberikan lewat sampul belakang buku:
IDEOLOGI SEPAK BOLA
Kesantunan seseorang tak dinilai dari perlakukan di pada temannya, tetapi terhadap lawan. Demikian bunyi sebuah pepatah klasik yang bias berlaku di sepak bola.
Secara tradisonal, Italia adalah lawan yang paling disegani Jerman. Di depan pemain Italia, pemain Jerman sering merasa minder sebab di benak mereka selalau terpatri bahwa orang Italia itu selalu lebih baik, lebih kreatif, lebih cerdik, lebih necis. Sebaliknya, orang Italia selalu menghormati il spirito Tedesco, semangat khas Jerman. Di mana pun Gli Azzurri bertemu Der Panzer, gensinya dijamin membara. Bukan perihal menang kalah, tetapi soal gengsi, peraturhan ideology bangsa semata. Dalam kadar tertentu, itu bias terjadi pada Indonesia dan Malaysia. Sepak bola bukan melulu di atas rumput hijau.
GLOBALISASI SEPAK BOLA
Masterplan bisnis kaum yahudi, salah satu berbunyi “jika bisa menguasai London, berarti akan menguasai dunia” Maka suda bias ditebak mereka selalu memilih London untuk berbisnis sepak bola, sebab New york atau Paris, dia tidak akan bias menguasai dunia lewat sepak bola.
Uang dan sepak bola sebuah perkawinan hebat yang belakangan ini makin diidamkan para miliuner yahudi. Hal inilah yang memotivasi Roman Abramovich dan Malcolm Glazer, pemilik dua klub terkuat di Eropa saat ini. Gara-gara kepintarannya, dengan mudah dan dari jauh pula, mereka bisa merogoh isi dompet kita untuk ber-langganan televisi kabel
Kesantunan seseorang tak dinilai dari perlakukan di pada temannya, tetapi terhadap lawan. Demikian bunyi sebuah pepatah klasik yang bias berlaku di sepak bola.
Secara tradisonal, Italia adalah lawan yang paling disegani Jerman. Di depan pemain Italia, pemain Jerman sering merasa minder sebab di benak mereka selalau terpatri bahwa orang Italia itu selalu lebih baik, lebih kreatif, lebih cerdik, lebih necis. Sebaliknya, orang Italia selalu menghormati il spirito Tedesco, semangat khas Jerman. Di mana pun Gli Azzurri bertemu Der Panzer, gensinya dijamin membara. Bukan perihal menang kalah, tetapi soal gengsi, peraturhan ideology bangsa semata. Dalam kadar tertentu, itu bias terjadi pada Indonesia dan Malaysia. Sepak bola bukan melulu di atas rumput hijau.
GLOBALISASI SEPAK BOLA
Masterplan bisnis kaum yahudi, salah satu berbunyi “jika bisa menguasai London, berarti akan menguasai dunia” Maka suda bias ditebak mereka selalu memilih London untuk berbisnis sepak bola, sebab New york atau Paris, dia tidak akan bias menguasai dunia lewat sepak bola.
Uang dan sepak bola sebuah perkawinan hebat yang belakangan ini makin diidamkan para miliuner yahudi. Hal inilah yang memotivasi Roman Abramovich dan Malcolm Glazer, pemilik dua klub terkuat di Eropa saat ini. Gara-gara kepintarannya, dengan mudah dan dari jauh pula, mereka bisa merogoh isi dompet kita untuk ber-langganan televisi kabel
MEMAHAMI SEPAK BOLA
Selain uang sepak bola adalah symbol nasionalisme, politik, kultur, ekonomi, bahkan peradaban dunia yang memakai kata globalization dan civilization. Namun karena memang dari sononya sepak bola diidentikan dengan budaya Eropa, maka hal itu bias menjadi sulit, misalnya, bagi orang-orang Amerika coba memahaminya.
The Clash of Civilization and the Remarking of World Order, buku terkenal Samuel Huntington yang mengupas scenario akabar perperangan peradaban masa depan dunia, seolah kurang sempurna sebab atak menyingnguung kedahsyatan efek permainan super global ini.
Beruntung, kemudian muncul karya Franklin Foer, How Soccer Explains the World: the Unlike theory of Globalization , yang seolah-olah melengkapinya. Jika ingin memahami lebih dalam, maka Anda wajib memilki buku ini untuk masuk ke dalam panggung drama sepak bola di berbagai pelosok dunia, termasuk Indonesia. Sepak bola akan mengajarkan arti kemanusiaaan
...........
[Hanya sekedar info, belum diposting tuntas. Warung tidak melakukan masak-memasak selama 4 hari mulai tanggal 30 Juni – 4 Juli 2008, warung sedang melayani “masak-memasak” pada Kongres PGRI di Palembang, mohon maaf]
.........
Catatan: Artikel yang ditulis dalam bentuk features, disuguhkan pada khlayak bacanya dengan diberi tajuk “drama”, terdiri dari 65 artikel.
Setiap artikel yang ditulis disertakan keterangan pemicunya. Misalnya pada artikel ke 23 “Politik Sepak Bola Stalin”
Selanjutnya ditulis pemicunya.
….Artikel ini ditulis untuk menyorot sepak terjang politik Presiden Rusia Vladimir Putin yang menggunakan konglomerat untuk memajukan serpak bola , sekaligus menapaktilasi cara-cara yang dipakai oleh ditaktor Joszet Stalin.
Selain uang sepak bola adalah symbol nasionalisme, politik, kultur, ekonomi, bahkan peradaban dunia yang memakai kata globalization dan civilization. Namun karena memang dari sononya sepak bola diidentikan dengan budaya Eropa, maka hal itu bias menjadi sulit, misalnya, bagi orang-orang Amerika coba memahaminya.
The Clash of Civilization and the Remarking of World Order, buku terkenal Samuel Huntington yang mengupas scenario akabar perperangan peradaban masa depan dunia, seolah kurang sempurna sebab atak menyingnguung kedahsyatan efek permainan super global ini.
Beruntung, kemudian muncul karya Franklin Foer, How Soccer Explains the World: the Unlike theory of Globalization , yang seolah-olah melengkapinya. Jika ingin memahami lebih dalam, maka Anda wajib memilki buku ini untuk masuk ke dalam panggung drama sepak bola di berbagai pelosok dunia, termasuk Indonesia. Sepak bola akan mengajarkan arti kemanusiaaan
...........
[Hanya sekedar info, belum diposting tuntas. Warung tidak melakukan masak-memasak selama 4 hari mulai tanggal 30 Juni – 4 Juli 2008, warung sedang melayani “masak-memasak” pada Kongres PGRI di Palembang, mohon maaf]
.........
Catatan: Artikel yang ditulis dalam bentuk features, disuguhkan pada khlayak bacanya dengan diberi tajuk “drama”, terdiri dari 65 artikel.
Setiap artikel yang ditulis disertakan keterangan pemicunya. Misalnya pada artikel ke 23 “Politik Sepak Bola Stalin”
Selanjutnya ditulis pemicunya.
….Artikel ini ditulis untuk menyorot sepak terjang politik Presiden Rusia Vladimir Putin yang menggunakan konglomerat untuk memajukan serpak bola , sekaligus menapaktilasi cara-cara yang dipakai oleh ditaktor Joszet Stalin.
No comments:
Post a Comment