SILA CARI DI SINI!

Google

Sunday, June 29, 2008

SEPAK BOLA POLITIK

Final Piala Eropa 2008, denyut penyelenggaraannya menyentuh hingga pelosok dunia, dari pojok kampung yang ada di belahan dunia, hingga kampung yang jauh dan tak terbilang kilometernya dari tempat penyelenggaran. Magnet stadion yang berada di Wina Austria itu, getarnya hingga di Indonesia. TV, Radio memberitakan, koran pun ramai membuat sisipan yang dikhususkan. Bola memang luar biasa, namun jangan terlena. Seharusnya daya getar itu juga sebagai sarana pematik bangsa kita, agar bangkit dari tidur lelap sebagai bangsa penikmat. Kita tentu mampu, sejarah bola Indoensia pernah mencatatnya, tapi mengapa kini sirna. Sepakbola Indonesia saat ini, seakan hanya sebagai pelengkap penderita. Ada daripada tidak, bukan ada karena ada.
Warung kali ini ingin mengangkat buku yang bercerita tentang sepakbola Indonesia, buku ini menempatkan dirinya sebagai buku sejarah olahraga, khusunya bola. Dikreasi oleh seorang wanita, Srie Agustina Palupi, lulusan Jurusan Sejarah Universitas Gajahmada. Menurut penulisnya di negeri ini pernah terbit buku yang berkisah tentang bola, namun hingga saat ini belum mampu di endus, buku itu adalah 40 Jaar Voetbal in Nederlandsch-Indie, 1894-1934 [Soekaboemi: Bareety, 1934]. Konon menurut cerita buku ini berisi perjalanan sepak bola Indonesia di bawah NIVB—Nederlandsch Indische Voetbal Bond. Dan beberapa mengenai sepak bola Tionghoa. Buku ini sangat penting untuk dicari sebagai wahana pencermatan, bagaimana Belanda melihat persepakbolaan Nusantara.
Detil Buku:
JUDUL : Politik & Sepak Bola Di Jawa, 1920-1942
PENULIS : Srie Agustina Palupi
PENERBIT: Ombak, Jl. Jatimulyo, TR I/273 A. RT 04 RW 02 Tegalrejo Yogyakarta 55242. Telp. [0274] 589243. E-mail : Ombak_community@yahoo.com
CETAKAN: 2004
ISBN: 979-3472-11-1
HALAMAN xxx+ 120 hlm; 15 x 21 cm
Nasionalisme ternyata dapat disokong oleh kegiatan sepakbola, buktinya ketika itu persepakbolaan Indonesia, dengan berani menyatakan perkumuplannya dengan sebutan PSSI [Persatoean Sepakraga Seloeroeh Indonesia]. Perkumpulan ini berdiri jauh sebelum kemerdekaan Negara Republik Indonesia.
PSSI juga telah melangkah jauh, dan secara strategis membuat Gentlemen’s Agreement dengan NIVU [ Nederlandsch Indissche Voetbal Unie ]. Kerjasama ini secara tidak langsung perkupulan sepakbola kita yang menggunakan nama Indoensia mendapatkan legitimasi. Inilah kebanggaan ketika itu, bahwa sepakbola mampu sebagai wahana pengakuan eksistensi bangsa
Pengantar buku ini adalah Shindunata, dan dalam buku ini diceriterakan bahwa perkumpulan bola “non-pri”-Tionghwa, juga maju dengan pesatnya. Pada tahun 1912 misalnya, sudah berdiri klub Tionghwa yang kuat dan besar, yakni Tjie Ying Hwee [Donar], Asiatik, Eeeviol [Peng Ho Sia], Tiong Un Tong. Di Semarang ada klub Ik You Sia dan Union. Lalu Tulung Agung, Tjoe Tie Hwa, di Solo, Solosche Voetbal Club, dan di Surabaya ada Klub-klub Tionghwa.
Tqak mengherankan, jika pada saat itu juga mampu melahirkan pemain Tionghwa yang disegani. Kontribusinya terhadap pergerakan nasional dapat dipandang luar biasa, karena secara diam-diam juga ingin bersaing dengan NIVB, sebuah organisasi sepak bola milik Belanda.

PENALTY YANG SOPAN SANTUN
Menarik juga dalam buku ini, terdapat ceritera yang menggelikan dan unik, yakni tentang rasa ewuh pekewuh [rasa malu dan sungkan]. Dikatakan jika menjebol gawang lawan lewat pinalty atau gol; dua belas pas adalah sesuatu yang tidak patut dilakukan dan memalukan. Karena perasaan tersebut, beberapa algojo penalty sengaja membuang tembakannya atau sengaja pelan-pelan menembak ke arah kipper, agar dengan mudah ditangkap.

PSSI PERNAH BANGKRUT DAN HAMPIR MENEMUI AJAL.
Tentunya Belanda sebagai penjajah tidak ingin sepak bola kita menjadi berjaya, apalagi menyaingi perkumpulannya. Ketika itu PSSI tak mempunyai dana untuk menghidupi organisasi dan kompetisi, padahal lekancaran kompetisi dan peningkatan mutu permainan adalah keinginan dari setiap perkumpulan. Keadaan tersebut dip[erparah dengan kerugian yang selalu diderita PSSI pada setiap penyelenggaran pertandingan sepak bola antar anggota Persatuan Sepakraga Indoensia. Bahkan pada tahun 1932, organisasi sepak bola bumi putra ini hampir menemui ajalnya, tetapi atas anjuran dari dr. Soetomo akhirnya PSSI dapat hidup

No comments: