Tangkisan Prabowo Subianto, terhadap berbagai varian tuduhan terdapat di dalam buku ini, rupanya Fadli Zon tidak ingin karibnya menjadi bulan-bulanan buku, kini dianggap memontum tepat untuk melakukan klarifikasi. BUku karya Fadli Zon ini, intinya membentangkan klarifikasi Prabowo terkait dengan serangkaian kejadian antara 12 Mei 1998 sampai 22 Mei..Selanjutnya klarifikasi yang merupakan surat yang ditulis oleh Prabowo dari Aman itu, di bacakan oleh beberapa karibnya, di Ball Room Hotel Regent.
Selengkapnya tertulis dihalaman 156 sampai 160 buku ini
- Semua pengerahan dan penempatan pasukan di bawah komando saya pada saat yang saya maksud (tanggal 12 Mei 1998 sampai dengan 22 Mei 1998) telah dilaksanakan sesuai dengan prosedur yang berlaku, dilaksanakan sepenuhnya di bawah kendali Panglima Operasi Jaya, yaitu Pandam Jaya, Komandan Garnisun Ibu Kota. Semua pengerahan pasukan dilaporkan kepada komando atas. Laporan situasi dilaporkan terus menerus kepada komando atas, dan pengendalian dan pengerahan pasukan dilaksanakan melalui sebuah posko yang diselenggarakan oleh Komando Oprasi Jaya, dimana semua Asisten Operasi dari seluruh Komando Utama Oprasi yang berada di jajaran Garnisun ibu kota hadir sendiri atau mengirim wakilnya.
- Saya selaku Panglima Kostrad tidak memiliki wewenang komando operasional atas apapun. Terhadap pasukan Kostrad pun saya tidak memiliki wewenang, komando operasional. Tugas Panglima Kostrad hanya menyiapkan dan menyediakan pasukan secepat mungkin kepada komando pengguna, dalam hal ini adalah adalah Komando Operasi Jaya, sesui dengan petunjuk pimpinan ABRI. Hal ini sudah menjadi sistem komando dan pengendalian di jajaran ABRI sejak belasan tahun.
- Pada rapat yang dimpin oleh Bapak Panglima AbBRI Jendral TNI. Wiranto pada 14 Mei 1998 sekitar 21.30 di Markas Komando Garnizun Ibukota, telah diberikan tugas pengawasan kepada beberapa Panglima KOTAMA OPS ABRI yang ada di Ibukota dalam rangka mendukung tugas PANGKOOPS JAYA. Antara lain Panglima Kostrad diberi tugas membantu pasukan yang mengamankan obyek-obyek vital di ibukota. Komandan Korp Marinir membantu pasukan yang mengamankan kedutaan-kedutaan besar asing, serta komandan Jenderal Kopasus membantu pasukan yang mengamankan presiden dan wakil presiden
- Sesuai dengan prosedur tetap pengamanan ibukota yang selama ini berlaku dan juga sesuai dengan berbabagai perintah-perintah operasi yang dikeluarkan pada saat itu, dalam keadaan genting pasukan Kopassus bertanggung jawab atas keamanan dan keselamatan presiden dan wakil presiden. Hal ini telah berkali-kali dilakukan sebelum kejadian bulan Mei 1998, sebagai contoh pada peristiwa 27 Juli 1996, pasukan Kopassus ditempatkan untuk mengamankan istana presiden dan wakil presiden. Dalam rangka pengamanan posisi pasukan selalau mengelilingi obyek yang diamanakn, di luar lingkaran yang pertama yang dilakukan oleh Pasukan Pengaman Presiden.
- Jadi jelas semua penempatan dan pengerahan pasukan pada saat-saat yang dimaksud adalah justru untuk mengamankan semua obyek vital dan terutama keselamatan presiden dan wakil presiden
- Menjelang tanggal 20 Mei 1998, telah tersiar berita bahwa akan ada gerakan massa sebanyak 1 juta orang ke arah lapangan Monas. Juga terbetik berita bahwa akan ada gerakan ke arah kediaman presiden Soeharto di Cendana. Secara logispun terdapat ancaman terhadap wakil presiden di Kuningan. Pada rapat malam hari tanggal 19 Mei 1998 ja, 21.00 di Markas Besar ABRI di Medan Merdeka Barat, oleh Bapak Pangab Jendral Wiranto yang memimpin rapat tersebut, ditegaskan dengan sangat jelas dan berkali-kali, bahwa tidak boleh satu pun massa yang masuk ke lapanagan Monas ataupun kediaman Presiden Soeharto di Jalan Cendana. Karena itu saya mengusulkan kepada Bapak Pangab langsung menggunakankawat-kawat beduri sehingga seandainya memang ada gerakan massa dapat dihindari kontak langsung antara aparat dan massa
- Tidak pernah terlintas dalam pikiran dan hati saya untuk melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan konstitusi. Ratusan perwira dan ribuan prajurit yang pernah saya pimpin di berbagai satuan menjadi saksi bahwa saya selalu mengajarkan pada setiap kesempatan santi aji, ceramah, briefing, maupun pada apel-apel dan parade-parade , serta pada setiap jam-jam komandan, untuk selalu menjunjung tinggi Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945. Saya selalu mengajarkan untuk menegakkan Sapta Marga dan sumaph Prajurit. Sesungguhnya perwira-perwira dan prajurit-prajurit ABRI yang pernah saya pimpin hampir semuanya adalah pribadi-pribadi yang dewasa, patriotik, selalu rela berkorban demi bangsa dan rakyat kita. Sangat sulit bagi mereka untuk diajak melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan Sapta Marga dan Sumpah Prajurit, terutama melanggar konstitusi yang sah.
- Untuk menjernihkan keadaan, mungkin perlu dilakukan pengecekan langsung kepada puluhan perwira dan ratusan prajurit yang ditempatkan di titik-titik penting di ibukota, terutama yang mengamankan presiden dan wakil presiden (yang kemudian pada tanggal 21 Mei 1998 menjadi presiden. Mungkin perlu ditanyakan kepada mereka, apa perintah yang telah mereka terima, siapa yang memberikan dan sebagainya. Saya yakin akan jelas bahwa semua penempatan tersebut justru untuk mengamankan dan menjaga keselamatan presiden dan wakil presiden (yang kemudian menjadi presiden pada tanggal 21 Mei 1998)
- Saya justru sangat sedih dengan munculnya persepsi bahwa saya berbuat mengancam keselamatan Presiden B.J. Habibie, seorang yang sejak lama saya kagumi dan seorang tokoh yang selalu saya junjung tinggi dan saya bela dibanyak kesempatan umum maupun tertutup, dihadapan ratusan perwira maupun kalangan sipil. Rasanya sulit membayangkan bagi saya untuk berbuat negatif terhadap seorang yang telah lama saya kagumi, dan yang telah saya anggap seperti orang tua saya sendiri. Pada tanggal 21 Mei 1998 dini hari, kurang lebih jam 02.00, puluhan tokoh dari kurang lebih 44 Ormas, menanyakan kepada saya tentang sikap saya atas terbetiknya berita bahwa Presiden Soeharto akan mengundurkan diri. Di hadapan puluhan tokoh tersebut saya menyampaikan bahwa saya mendukung proses konstitusional, dan secara konstitusional Bapak Wakil Presiden B.J. Habibie seharusnya menggantikan Bapak Presiden Soeharto, apabila Bapak Presiden Soeharto berhenti atau berhalangan. Jadi sungguh menyedihkan bagi diri saya bahwa telah muncul persepsi yang sangat berlawanan dengan kenyataan yang sebenarnya. Saya sungguh berharap bahwa dapat muncul sikap yang arif dan bijak agar dapat diluruskan presepsi-persepsi yang menurut keyakinan dan hatri nurani sangat keliru.
- Seluruh hidup saya sebagai prajurit ABRI telah saya curahkan untuk kepentingan dan kehormatan bangsa dan negara, serta keselamatan seluruh rakyat Indonesia. Ratusan perwira dan ribuan prajurit ABRI yang pernah bertugas bersama saya selama 24 tahun, serta ribuan pejuang-pejuang sipil yang telah berjuang dan berkorban demi merah putih bersama saya di berbagai tempat saya yakin akan menjadi saksi bagi saya.
- Demikian keterangan yang saya buat. Semoga dapat menjelaskan berbagai masalah yang dipersoalkan
Data buku:
JUDUL:Politik Huru-Hara
PENULIS: Fadli Zon
PENERBIT: Institute for Policy Studies [IPS]. Jl. Penjernihan IV No. 8 Pejompongan Jakarta 10210.
CETAKAN: IX- Maret 2009; Cetakan Pertama 1-April 2004
ISBN: 979-95388-4-X
TEBAL: xii + 120 halaman
BAB YANG DIBAHAS:
BAB I-GELIAT MENUJU KEMELUT
Krisi Ekonomi 1997-1998
Jerat IMF Menuju Huru-Hara Mei'98
Politik Menjelang Huru-Hara
Rivalitas Wiranto-Prabowo
BAB II-INSIDEN TRISAKTI SELASA 12 MEI 1998
Jatuhnya Martir
Reaksi Para Elit
BAB III-SIAPA BERTANGGUNG JAWAB
Polisi vs Mahasiswa
Tarik Ulur Uji Balstik
Tanggung Jawab Wiranto
Prabowo Sebagai Korban
BAB IV- HURU-HARA MEI 1998
Genderang Kerusuhan
Puncak Huru Hara
Korban dan Kerugian
Analisa dan Temuan TGPF
Usaha Pengendalian Kerusuhan
BAB V-POLITIK PASCA KERUSUHAN
Jendral-Jendral Pergi ke Malang
TGPF dan Pertemuan di Makostrad
Menangkapi
Isu Kudeta dan Hari-Hari Meneggangkan
No comments:
Post a Comment